Aku Bukan Santri, Tapi Aku Muslim Sejati 1
Bila
seorang muslim adalah orang yang selalu memakai sarung, maka Bung Karno bukan
seorang muslim.
Bila
seorang muslim adalah mereka yang selalu menggunakan surban, jelas Bung Karno
bukan seorang muslim.
Tapi
apabila anda berpendapat bahwa seorang muslim adalah mereka yang menjalankan
perintah Allah Swt serta menjauhi larangannya, maka dapat saya katakan bahwa
Bung Karno seorang muslim yang taat beragama.
Bung
Karno bukan sosok seorang Islam santri. Itulah saebabnya ia tidak diakui
sebagai seorang pemimpin Islam. Bung Karno tak kalah banyaknya menulis tentang
Islam, bahkan ia lebih banyak menulis dan berpidato mengenai Islam, yang
mengeluarkan pemikiran-pemikiran keislaman, katimbang Dr. Sukiman yang justru
lebih banyak berbicara mengenai nasionalisme Indonesia. Karena itu dari sudut
sejarah perlu dipertambangkan kembali kedudukan Bung Karno sebagai, paling
tidak, seorang pemikir Muslim, yang turut menyumbang, secara cukup berarti,
dalam wacana keislaman. Bahkan Bung Karno boleh di bidang telah berjasa sangat
besar dalam da’wah Islam.
Tidak
banyak yang tahu, bahwa Bung Karno, adalah orang kunci dalam berdirinya Masjid
Salman di kampus ITB. Pada suatu waktu, panitia pendirian masjid Salman pada
tahun 1960-an, telah gagal menempatkan pembangunan masjid tersebut di dalam
kampus. Tapi tiba-tiba Bung Karno menanyakan status rencana pembangunan
tersebut dan menanyakan pula gambarnya dan memanggil panitia pembangunan.
Setelah berdiskusi dan memberi komentar, maka ia menulis dalam rancana itu aku
namakan masjid ini Masjid Salman, dengan inisial Soek.
Itu
berarti Bung Karno selaku Presiden RI, telah menyetui pendirian sebuah masjid
di kampus. Padahal, pihak rektorat telah menolaknya yang meminta agar masjid
tersebut dibangun di luar kampus. Dengan demikian, maka Salman adalah masjid
kampus di universitas negeri yang pertama di Indonesia, yang baru kemudian
diikuti dengan berdirinya masjid Arief Rahman Hakim, di kampus UI, Salemba, masjid
Salahuddin, di kampus UGM atau masjid Raden Patah, di kampus Universitas
Brawijaya. Selanjutnya pendirian masjid kampus itu diikuti oleh hampir semua
universitas yang memiliki kampus. Masjid model Salman ini mengikuti visi masjid
modern yang tidak saja merupakan pusat ibadah (tempat sholat saja), tetepi juga
pusat kebudayaan dan kegiatan da’wah di ka langan terpelajar, khususnya
mahasiswa.
Pemberian
nama Salman tidak pula sembarangan. Ini mencerminkan pengetahuan Bung Karno
mengenai Islam. Dalam sejarah Islam, sahabat Salman dari Parsi, dianggap
sebagai seorang arsitek, yang mengusulkan dan memimpin pembangunan benteng
berupa parit dalam Perang Chandaq (Perang Parit). Interpretrasi historis
terhadap tokoh Salman ini diterima oleh kalangan cendekiawan maupun ulama dan
menjadi interpretrasi populer yang diucapkan dalam ceramah-ceramah dan
khutbah-khutbah jum’at dalam wacana da’wah. Sejak munculnya nama Salman sebagai
arsitek sahabat Nabi, maka profesi arsitek Muslim diakui dan menjadi populer.
Pola arsi-tektur masjid modern, juga berkembang, walaupun juga berkat
kreativitas Ir. Noekman, yang sangat dikenal sebagai arsitek Muslim dari Masjid
Salman ITB. Dalam kaitan ini, tidak bisa dilupakan, bahkan Bung Karno sen diri
adalah seorang arsitek.
Tapi
jasa Bung Karno sebagai pemikir budaya tidak sampai di situ. Ia menerima pula
ide Haji Agus Salim, yang dijulukinya The Grand Old Man,julukan itu juga
diterima dan menjadi populer dalam wacana gerakan Islam di Indonesia , walaupun
Haji Agus Salim pernah memberikan kritik tajam terhadap gagasan nasionalisme
Bung Karno, untuk membangun Masjid Baitul Rahim, sebuah masjid di halaman
istana negara dengan arsitektur yang indah, yang seringkali dibandingkan dengan
gereja. Visi Bung Karno tentang masjid mencapai puncaknya dengan pendirian
masjid Istiqlal, yang merupakan pengakuan terhadap jasa umat Islam dalam
perjuangan kemerdekaan, karena Istiqlal artinya adalah kemerdekaan, yang
arsteknya adalah seorang Nasrani, Ir. Silaban. Itu semua mencerminkan pandangan
keagamaan Bung Karno yang luas dan terbuka. Sulit menemukan pandangan seorang
pemikir Muslim yang se liberal Bung Karno.
Namun
demikian, Bung Karno tetap saja tidak diakui sebagai seorang pemimpin Islam
atau pemimpin umat Islam dan juga tidak diakui sebagai seorang pemikir Islam.
Atau dalam rumusan yang lebih kena, seperti kata Bambang Noorsena, para
pengritiknya dari kalangan politisi Islam, meragukan kemurnian keislaman Bung
Karno. Syed Husein Alatas, seorang sosiolog Malaysia, yang lama mengajar di
Universitas Singapore, pernah menulis buku tentang Islam dan Kita, dan dalam
buku itu ia menampilkan empat tokoh nasional Indonesia dan kaitannya dengan
Islam. Di situ ia menyebut Bung Karno sebagai seorang pemimpin Muslim namun
tidak memiliki komitmen perjuangan Islam dan bahkan secara politis menantang
Islam. Tokoh yang disebutnya pemimpin Islam yang ideal adalah Syafruddin
Prawiranegara, seorang terpelajar yang mempunyai pemikiran tentang Islam dan
memiliki komitmen pula terhadap gerakan dan politik Islam. Ada dua orang tokoh
lagi yang ia bahas, yaitu Sutan Syahrir dan Tan Malaka. Syahrir adalah seorang
yang lahir dari keluarga Muslim di Minangkabau, tempat kelahiran banyak
pemimpin Islam, antara lain Haji Agus Salim dan Mohammad Natsir, tetapi ia
ketika telah menjadi pemimpin telah tercerabut (uprooted) dari lingkungan
masyarakatnya dan menjadi tak acuh (indefferent) ter-hadap Islam. Sedang Tan
Malaka adalah seorang yang masih mengaku Muslim, mempunyai pengetahuan dan
pemi-kiran menganai Islam, tetapi pada dasarnya ia adalah seorang komunis yang
ingin memperalat Islam dan kaum Muslim untuk mencapai tujuan perjuangan
komunisme di Indonesia.
Bung
Karno, sebagai seorang Muslim adalah kebalikan dari Syahrir. Ia memang berasal
dari keluarga abangan dan baru pada umur 18 tahun berkenalan dengan Islam.
Namun kemudian ia berkembang menjadi seorang Muslim, walaupun belum bisa atau
mungkin juga tidak mau disebut santri. Walupun begitu, orang seperti A. Hassan
atau Mohammad Natsir, tidak meragukann keyakinannya terhadap Islam. Barangkali
ia tepat disebut sebagai seorang muslim marginal.
Ada
beberapa faktor yang membentuk persepsi orang terhadap Bung Karno. Pertama ia
dianggap memiliki latar belakang dan masih dipengaruhi agama Hindu dan Buddha,
atau mungkin masih dipengaruhi oleh apa yang disebut oleh antropolog Clifford
Geertz, agama Jawa. Ajaran pewayangan masdih nampak mempengaruhinya, walaupun
ia adalah seorang yang mendapatkan pendidikan modern Barat. Kedua, ia sering
menyatakan dirinya sebagai penganut Marxisme atau paling tidak mempergunakan
(sebagian) teori Marxis dalam analisis-analisis nya Dalam suatu rekaman
wawancara yang diberi judul Tabir adalah lambang Perbudan (Panji Islam, 1939),
ia pernah berkata dengan bangga:
Saya adalah murid dari Historische School van Marx. Pernyataan ini sangat berani, karena pengakuannya itu dikeluarkan justru ketika ia sedang berebicara mengenai Islam , khususnya pandangan Islam mengenai perempuan.
Saya adalah murid dari Historische School van Marx. Pernyataan ini sangat berani, karena pengakuannya itu dikeluarkan justru ketika ia sedang berebicara mengenai Islam , khususnya pandangan Islam mengenai perempuan.
Satu
hal yang tidak bias kita abaikan adalah Bung Karno mendapatkan gelar doktor
honoris causa di bidang tauhid, oleh sebuah lembaga pendidikan agama yang
prestisius, IAIN Syarif Hidayatullah, bahkan juga mendapat gelar honoris causa
di bidang filsafat oleh Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Gelar itu tidak
mungkin diberikan oleh sebuah universitas Islam seperti Al Azhar, jika lembaga
itu meragukan iman Bung Karno dalam ketauhidan.
Pada
waktu muda, Bung Karno pernah menjadi anggota Sarekat islam dan Partai Sarekat
Islam. Memang ia kemudian keluar dari partai itu dan mendirikan sendiri PNI
bersama-sama dengan kawan-kawan nasionalis yang sepaham yang menganut aliran
nasionalis sekuler. Tapi ia tetap mempertahankan citranya sebagai seorang
Muslim, antara lain dengan bergabung dengan Muhammadiyah, sebuah organisasi
yang berfaham tauhid keras (hard tauhid). Ia bahkan aktif sebagai anggota
pengurus lokal, ketika berada dalam pembuangannya di Berkulu. Sebagai anggota
dan aktivis Muhyammadiyah, Bung Karno pernah mengeluarkan semboyan yang
kemudian menjadi sangat populer dan menjadi semboyan semua anggota Muhammadiyah,
yaitu Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah. Konon ia pernah berwasiat, jika
meninggal dunia, ia diusung dalam keranda yang di-tutup dengan bendera
Muhammadiyah. Soekarno muda memang banyak berkenalan dan dipengaruhi oleh Islam
aliran Persatuan Islam yang diasuh oleh A. Hassan, dimana seorang pemimpin
Islam terkemuka, Mohammad Natsir dididik. Ia pernah pula mengaku tertarik dan
belajar banyak dari pemikiran Ahmadiyah. Tapi pilihan ter-akhirnya adalah
Muhammadiyah yang beraliran sebersih-bersih tauhid.
Bung
Karno mulai belajar Islam secara serius, ketika ia meringkuk di penjara
sukamiskin, Bandung, dari mana ia membaca terbitan-terbitan Persatuan Islam,
yang kini mungkin disebut sebagai aliran fundamentalisme Islam, sebagaimana Al
Islam, Solo, dimana M. Amien Rais pernah lama belajar. Kegiatan belajarnya
makin intensif ketika ia berdiam di Endeh, Flores. Di situ dan pada waktu
itulah ia berkorespondensi dengan A. Hassan, pemimpin lembaga pendidikan
Persatuan Islam yang mula-mula berpusat di Bandung tapi kemudian berpindah ke
Bangil, Jawa Timur hingga sekarang ini yang dikenal sebagai penerbit majalah Al
Mu-slimun.
Tapi,
sebelum masa Surat-surat dari Endeh itu, Soekarno muda sudah memiliki persepsi
tentang Islam, yang agaknya ia peroleh dari guru dan sekaligus mertuanya,
H.O.S. Tjokroaminoto. Persepsinya mengenai Islam adalah, bahwa Islam adalah
sebuah agama yang sederhana, rasional dan mengandung gagasan kemajuan (idea of
pro-gress) dan egaliter.
Di
balik perhatiannya terhadap islam sebagai ajaran, Soekarno muda sebenarnya
menaruh perhatian terhadap masyarakat Islam atau kondisi umat Islam, dalam
konteks kolonialisme dan imperialisme. Di samping ingin memperdalam
ajaran-ajaran Islam, baik dari segi ibadah maupun siyasah (politik) dan
mu’amalah (sosial-ekonomi), Soekarno menaruh perhatian terhadap aspek
masyarakat dan paham-paham keagamaannya. Dalam melihat segi-segi
kemasyarakatan, Soekarno yang terlibat dan memimpin pergerakan nasional dan
mempelajari ilmu-ilmu sosial dan sejarah, termasuk membaca karya-karya Karl
Marx, merasa kecewa dan tidak menyetujui paham-paham Islam tradisional.
Soekarno muda, walaupun masih dan ingin belajar tentang Islam, namun sudah
berani menyatakan pendapat-pendapatnya yang kritis.
Soekarno
muda yang sangat energetik itu, menyerang doktrin taklid dan sikap menutup
pintu ijtihad. Ia menantang kekolotan, ketakhayulan, bid’ah dan
anti-rasionalisme yang dianut oleh masyarakat Muslim Indonesia. Ia berpendapat,
bahwa Islam telah disalah-tafsirkan, karena umat Islam dan para ulamanya lebih
percaya dan berpedoman kepada hadist-hadist dan pendapat ulama, dari pada
berpedoman kepada al Qur’an. Ia pernah meminta kiriman buku kunpulan hadist
Bukhari, karena ia mencurigai beredarnya hadist-hadist palsu yang bertentangan
dengan al Qur’an. Di sini Soekarno muda sudah memasuki pemikiran kritik hadist,
yang hanya baru-baru ini saja menjadi perhatian studi akademis. Pandangan
Soekarno itu memang tidak baru, karena tema-tema itulah yang telah dibawa oleh
gerakan Muhammadiyah yang beraliran moderbis. Karena itu, maka Soekarno muda
sebenar-nya adalah penganut paham Islam modernis.
Salam Revolusi
0 komentar:
Posting Komentar