Kekuasaan Negara, Moralitas Publik dan Privat
Semua program politik pada prinsipnya bermuatan nilai, dalam arti didasarkan pada asas-asas kehidupan privat dan publik semua pihak yang diselenggarakan menurut tata kehidupan bernegara. Asas-asas dasar ini tak pelak memiliki konsekuensi praktis. Karenanya, kesepakatan tentang cita-cita moral yang hendak diterapkan dalam tatanan baru yang ter-reformasi, baik secara publik maupun privat, menjadi hal yang harus ada.
Sebenarnya kesepakatan tentang cita-cita moral bukan tidak ada. Ada, hanya sayang, realitas adanya ditiadakan justru oleh cara mengadanya. Pancasila yang dimaksudkan sebagai rujukan moralitas dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara justru mengalami pendangkalan makna, bahkan menciptakan demoralisasi praktik hidup publik maupun privat, justru karena cara mengadanya; tatkala Pancasila dijadikan semacam “burung perkutut” guna memuaskan siapa pun yang mau mendengarnya apalagi memanfaatkannya. Orde baru memperlakukan Pancasila bukan sebagai reflektor yang membawa segenap warga dan penyelenggara negara ke titik penyadaran diri, tetapi lebih sebagai legitimasi kekuasaan dan atribut untuk memecah-belah melalui identifikasi sosial.
Pandangan dan Praktik Moralitas
Seharusnya, memang, tidak terjadi inkonsistensi antara pandangan dan praktik moralitas. Realitasnya, inkonsistensi itu terjadi. Dan bahwa itu terjadi, bahkan menjadi-jadi, tidak harus dijadikan justifikasi untuk mempersoalkan kualitas kemanusiaan dari sang aktor, ko-aktor atau pun konteks sosial yang bersama-sama mengkonstruksi kejadian. Sekalipun ada rasa hormat atas iktikad baik dari aktor dan ko-aktor; pun tanpa menyalahkan konteks di mana pandangan moralitas diejawantahkan dan mengambil tempat dalam tindakan, tetap saja ada komponen yang terlepas dari perhatian kita.
Jika dari inkonsistensi itu kemudian harus diusulkan suatu alternatif solusi agar, misalnya, negara membedakan secara jelas antara ruang publik dan ruang privat sehingga terjadi perombakan cara pandang terhadap realitas di mana hak-hak hidup privat individu dalam relasinya dengan negara harus dikalkulasikan kembali, maka cara yang harus ditempuh tentu bukan dengan menciptakan "moralitas baru" untuk mendiskreditkan bahkan mencampakkan moralitas lama. Juga bukan dengan merevisi bahkan mengganti moralitas lama itu dengan moralitas baru. Mengabaikan --tentu untuk sementara-- kemungkinan-kemungkinan penyelesaian sejenis, saran yang lebih reformatif dan dekonstruktif ialah memperlakukan hubungan aktor-koaktor pada konteks bersama dengan me-reka-kan kemungkinan baru, yakni melalui penciptaan kontrak sosial baru.
Artikulasi kontrak sosial antara individu (warga negara)-negara yang memungkinkan negara memaksa individu dengan ancaman bahwa "I will not hurt or kill you if you give me what I want.", misalnya, tidak harus ditafsirkan sebagai "amoralisasi negara terhadap warganya". Hal ini sepadan dengan contoh peralihan kontrak sosial yang direformasi --kalau tidak didekonstruksi-- oleh gerakan feminisme ketika peristiwa pemerkosaan (rape) bukan lagi peristiwa seks, tetapi peristiwa dominasi pihak satu atas pihak lain, peristiwa degradasi kemanusiaan, dan peristiwa pengendalian dan penindasan satu pihak atas pihak lain.
Jelasnya, hubungan di antara negara-warga negara dalam dataran moralitas tak harus dimutlakkan sebagai kebutuhan negara untuk memaksakan pemapanan moralitas yang kalau dipandang dari sudut humanitas tak lain berintikan penculikan, perampokan, penyanderaan, dan perampasan hak-hak individual melalui dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan. Sebab, segala bentuk penculikan, perampokan, penyanderaan, dan perampasan hak-hak individual tidak hanya mengundang kritik pada berlangsungnya pengingkaran negara atas kontrak sosial, tetapi lebih jauh lagi ialah pada perampasan pribadi dan kebebasan korban, yakni warga negara. Jika martabat individu terletak pada fakta bahwa ia merupakan moral agent yang bertindak atas dasar kehendak sendiri, pun dalam pertukaran sosial yang bebas, maka apa yang diperlakukan oleh negara dengan segala bentuk pemaksaan dengan sendirinya memperkosa dan menindas martabat korban. Hal ini sama saja dengan tindakan memperbudak.
Jika demikian, maka kebebasan dan diversitas tanggapan seseorang aktor sosial terhadap ko-aktor yang dianggap memerlukan pertolongan boleh jadi tidak sekadar memberikan nilai tambah kemanusiaan bagi diri aktor, tetapi mengangkat martabat humanitasnya. Namun ketika tindakan menolong itu dilakukan semata-mata karena diharuskan dan dipreskripsikan di dalam Ekaprasetya Pancakarsa, misalnya, tak ada jaminan bahwa tindakan itu memebangkitkan diri sang aktor.
Pada titik ini, moralitas yang dipaksakan oleh instansi lain di luar individu, kendati dapat direalisasikan ke dalam wujud tindakan, bukanlah menjadi realisasi nilai moral, yang pada gilirannya mengangkat martabat kemanusiaannya, tetapi justru merobohkan dan meluluh-lantakkan martabat itu. Dari sinilah reformasi moral yang menyangkut hubungan negara-warga negara seyogyanya dipercayai dalam setiap sistem religiusitas, hidup adalah anugerah Sang Pencipta. Berarti, bahwa ketidakpedulian atas hidup yang diporakporandakan kekerasan adalah suatu persetujuan atas perlawanan terhadap kehendak Sang Pencipta. Jadi, menaruh rasa hormat dan melakukan kewajiban mempertahankan nilai kehidupan dalam komunitas menjadi keniscayaan.
Gelombang kekerasan yang silih berganti membuat anggota masyarakat menderita karena hak-hak hidupnya dirampas dan direnggut oleh kekuatan yang sama sekali tak berhak.. Sikap yang tak jelas perihal pemeliharaan kelangsungan hidup apalagi tanpa upaya untuk mempertahankannya menimbulkan rasa bersalah, sebab dengan sendirinya ia telah melawan Sang Pencipta.
Dalam krisis moral bangsa Indonesia, "kehalusan rasa (cowardice)" dan "rasa hormat pada diri sendiri (self-respect)" telah menghilang dari wacana publik. Wacana publik lebih menawarkan rasa penghargaan pada diri sendiri (self-esteem) yang dianggap sebagai substitusi martabat. "Rasa hormat pada diri sendiri" mengimplikasikan, seseorang mengenal takaran-takaran kebaikan, dan menilai harkat dirinya sebagai manusia yang bertumpu pada derajat tentang sejauh mana ia dijiwai oleh takaran-takaran kebaikan dan harkat diri. "Rasa penghargaan pada diri sendiri" secara sederhana berarti, seseorang cukup merasakan bahwa dirinya baik. Sedang "martabat" menunjuk pada penguasaan diri (self-mastery) dan determinasi moral yang memungkinkan seorang pribadi memimpin dirinya sendiri di kala menghadapi pancaroba kehidupan dan kedurhakaan orang lain.
Martabat mempersyaratkan, kita tak pernah merasa dicerca dan kita tak pernah memaksa orang lain untuk bertindak dengan penuh rasa hormat pada diri kita. Secara jelas ini mengandaikan, kita tahan banting dan mampu mencegah diri kita mengalami degradasi tatkala dihadapkan pada perilaku orang lain yang kita anggap rendah. Jika semua ini tidak kita capai, inilah pratanda yang mengabarkan tentang insubstantialitas watak kita, kekosongan jiwa kita, tingkatan martabat kita yang paling terpuruk. Tak mungkin mengalamatkan persoalan dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan negara atas warga-negara tanpa membicarakan tanggungjawab moral atas korban yang dijadikan sasaran. Dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan adalah liar karena merupakan pelanggaran hak asasi manusia, sementara hal itu kita biarkan, kita maafkan, kita ijinkan, dan kita anggap sebagai hal yang beres-beres saja.
Kita biarkan bahkan kita dorong semua itu karena kita tidak melawan balik, sesegera mungkin kemudian, tatkala itu terjadi di mana pun. Tindakan dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan lantas kita anggap tidak liar lantaran kita tidak cukup memiliki rumah penjara, lantaran tidak ada hakim dan prosedur pengadilan yang tegas, lantaran penegak moralitas kita terjebak ke dalam urusan teknis dan upacara. Akibat runyamnya, utamanya bagi degradasi watak kita, sementara kita masih berusaha tegar menyatakan diri sebagai bangsa yang berperasaan halus dan tenggang rasa, kita sedang menjadi korban dari self-stereotyping kita.
Proteksi Diri
Bila diekstrimkan, kemungkinan seorang warga negara menjadi korban dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan para penguasa lebih besar bila dibandingkan kemungkinan ia menjadi korban kecelakaan lalu-lintas. Di samping itu, kebanyakan warga negara cenderung percaya, eksistensi pemerintah telah membuat mereka kehilangan rasa tanggungjawab untuk melindungi diri sendiri. Padahal, pemerintah, dengan angkatan bersenjatanya, sama sekali bukan penjaga keamanan pribadi. Mereka sekadar petugas yang dipreskripsikan sebagai pencegah (baca: pemadam kebakaran) tatkala terjadi dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan. Tetapi, apa mau dikata, jika pemerintah, sebagiamana rezim Orba, dengan rangkaian sistem kekuasaan yang dibangunnya justru menjadi pelaku utama dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan?
Sedemikian jauh, pemerintah senantiasa berusaha tampil di depan publik secara sangat manis. Penguasa menampilkan dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan secara malu-malu meski masih terbaca dari hegemoni yang tercipta. Kesimpulannya, dengan alasan apa pun tidaklah mungkin bagi warga negara untuk menjaminkan seluruh rasa amannya pada perangkat atau aparat pemerintahan. Apabila seorang warga negara menjadi korban dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan, maka muskil baginya untuk mengharapkan pertolongan dari pihak pemerintah. Dapat diperhitungkan, berapa kasus dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan yang dapat ditangani lewat jalur pemerintah. Oleh sebab itu, gagasan bahwa proteksi merupakan tenaga layanan yang dapat bergerak pada saatnya sewaktu dibutuhkan. Tanpa menyebut kasus-kasus lain, kasus 27 Juli 1996, kasus kerusuhan sosial tanggal 14 Mei 1998 dengan sangat gamblang menunjukkan hal ini.
Banyak warga negara berurusan dengan dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan tanpa pandang konteks. Bermacam reaksi muncul berupa keterkejutan, keheranan dan sakit hati tatkala mereka menemukan bahwa bentuk-bentuk dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan tidak berada pada lini kaidah hukum, bahkan mengabaikan batasan imajiner ini. Meski demikian, jika dipahami bahwa dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan dapat terjadi di sembarang waktu dan tempat, pun jika dipahami bahwa warga dapat terlibas dan terpental dari kehidupan -- kondisi di mana nyawa manusia dianggap tiada berharga -- seharusnya warga negara mau mempertimbangkan untung-ruginya melakukan pengalihan tanggungjawab hidup sendiri pada pihak lain. Sampai di sini proteksi diri sendiri yang dilakukan oleh dan untuk diri warga negara merupakan keniscayaan.
0 komentar:
Posting Komentar