Breaking News
Loading...
Senin, 26 Agustus 2019

GURU PENULIS : GURU CERDAS

06.55
GURU PENULIS : GURU CERDAS Oleh : Setyo Budi (Guru SMA Negeri 1 Andong, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah) Guru diharapkan mampu berpartisipasi dalam pemba-ngunan nasional. Guru dapat mewujudkan insan Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki jiwa estetis, etis, berbudi pekerti luhur, dan berkepribadian. Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa masa depan masyarakat, bangsa dan negara sebagian besar ditentukan oleh guru. Agar tugas dan fungsi yang melekat pada jabatan fungsional guru dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Oleh karena itu, mutlak diperlukan penilaian terhadap pelaksanaan tugas dan kewajiban guru dalam melaksanakan pembelajaran/ pembimbingan, atau tugas-tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah. Penilaian kinerja guru ini dilakukan untuk menjamin terjadinya proses pembelajaran yang berkualitas di semua jenjang pendidikan sekaligus menjaga profesionalitas seorang guru. Guru merupakan sumber utama penentu keberhasilan belajar anak didik. Paham atau tidaknya anak didik, tergantung bagaimana guru dalam menjelaskannya. Menarik atau tidaknya pembelajaran, juga tergantung bagaimana guru mendesain pembelajaran dan mengkondisikan suasana. Peran guru di dalam kelas memiliki peran penting dalam mengoptimalkan pembelajaran. Anak didik adalah generasi penerus yang akan meng-gantikan generasi sebelumnya. Regenerasi akan terus terjadi hingga akhir jaman. Begitu pula dengan regenerasi kepemim-pinan. Ini semua menjadi tanggung jawab bersama baik orang tua, guru, dan pemerintah untuk mempersiapkan calon penerus bangsa yaitu anak didik. Anak didik merupakan calon-calon pemimpin masa depan. Tugas guru adalah mencerdaskan dan mempersiapkan mereka baik secara mental, spiritual, pengetahuan, dan kete-rampilan. Sebagai calon pemimpin masa depan, anak didik harus dilatih menjadi pribadi yang tangguh, jujur, kreatif, produktif, dan inovatif. Tugas berat itu tidak dapat dijalankan hanya dengan asal-asalan. Guru harus menjadi guru profesional. Harus ada niat tulus dan ikhlas serta ada kesungguhan dalam pelaksanaannya. Sehingga mampu melahirkan calon-calon pemimpin masa depan. Sebagai generasi yang berkualitas yang mampu bersaing dan memajukan Negara Indonesia. Peran yang dilakukan pemerintah untuk menciptakan generasi yang diidamkan tentunya dengan mencanangkan beberapa program pembangunan khususnya dalam bidang pendidikan. Salah satunya adalah Gerakan Literasi Bangsa yang dicanangkan pemerintah mengajak generasi kita untuk gemar membaca. Untuk itu diperlukan jumlah bacaan yang banyak, bersifat informatif, bermanfaat, dan dapat menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan mereka. Sebaliknya, jika sumber bacaan tidak ada yang menarik, jumlahnya terlalu sedikit, lebih banyak yang bersifat hiburan dibandingkan yang bersifat informatif dan mendidik. Dengan demikian, Gerakan Literasi Bangsa hasilnya kurang maksimal. Sangat disayangkan jika sesuatu yang sebenarnya keahlian guru, justru ditulis oleh orang lain terlebih dahulu. Oleh karena itu, guru haruslah menulis agar jumlah bacaan di Indonesia semakin banyak dan variatif. Guru mengajar dengan memberikan keteladanan akan lebih mudah dalam mendidik anak didik. Sejalan dengan Gerakan Literasi Sekolah, guru mengharapkan anak didik untuk gemar membaca. Setelah itu mereka diminta membuat review atas apa yang dibacanya. Dengan keadaan yang demikian ini serasa tidak enak dilihat. Mengapa? Anak didik diharapkan membaca dan mereview bacaannya, sementara guru apa yang dilakukan? Ada sesuatu yang tidak seimbang. Oleh karena itu, guru harus memberikan keteladanan menulis. Tanggapan anak didik akan berbeda dibandingkan bila guru hanya menyuruh dan tidak memberikan keteladanan. Mereka tentu akan lebih termotivasi, lebih bersemangat bila yang dibaca adalah karya guru-gurunya. Disamping itu, guru dalam Gerakan Literasi Sekolah, dapat membangun peradaban dengan beberapa karya-karya tulis yang berkualitas. Semakin banyak karya tulis yang berkualitas apalagi dalam bentuk buku, maka semakin maju peradaban tersebut. Itulah harapan dari Gerakan Literasi Sekolah. Namun permasalahan yang muncul adalah siapkah guru untuk menulis? Jawabannya adalah guru harus menulis. Guru harus menjadi penulis yang terampil, hebat dan handal. Jangan berharap dapat menjadi penulis yang hebat, terampil dan handal, jika tidak diawali dengan banyak membaca. Tingkat pengetahuan, kapasitas dan wawasan seseorang salah satunya ditentukan oleh apa yang dibacanya. Membaca adalah upaya memasok bahan dan barang di simpan dalam otak. Namun, ketika sudah tersimpan harus ada sirkulasi dan bentuknya adalah menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan. Menulis merupakan upaya menyegarkan kembali ingat-an. Semakin banyak seseorang membaca akan semakin banyak memiliki bahan untuk ditulis. Guru yang mampu menulis dengan baik, maka ia adalah pembaca dan pendengar yang baik. Jadi, guru sebagai penulis memiliki keilmuan yang terbarukan, sehingga tampil sebagai guru profesional sejati. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan guru adalah seorang pendidik yang memiliki tugas mendidik, mengajar, membim-bing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi anak didik. Guru diartikan “digugu dan ditiru.” Apapun yang dilaku-kan baik berupa tindakan atau ucapannya akan dijadikan panutan/ tuntunan bagi anak didiknya. Oleh karena itu, guru memiliki kewajiban untuk mempertahankan keprofesionalannya. Bukannya santai-santai atau asal-asalan dalam mengajar. Bukan pula mengajar asal gugur kewajiban. Atau yang penting dapat berpenghasilan dan tidak memperhatikan tugas utama yang sesungguhnya. Jika itu yang guru lakukan maka tujuan pendidikan tidak akan tercapai dengan maksimal. Karena secara tidak langsung proses kegiatan belajar yang dilakukan akan berpengaruh pada pribadi anak didik. Sangat disayangkan bukan? Memang, untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi-nya saja, guru telah demikian sibuk. Selain segudang administrasi mesti terselesaikan, guru juga harus memberi perhatian penuh pada anak didiknya. Bukankah tak ada waktu sisa lagi. Untuk itulah guru yang mampu menulis merupakan guru yang hebat, guru yang cerdas. Mengapa? Guru tersebut adalah guru yang mampu mengatasi kesulitannya sendiri. Bukankah itu salah ciri orang yang cerdas. Dengan demikian, pemahaman sebagai guru dan cara memandang dirinya, harus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan jaman. Guru harus mampu menyesuai-kan diri dengan perkembangan zaman. Anak didik lebih mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu guru harus memberikan keseim-bangan dengan anak didiknya. Artinya guru harus mau dan mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Maka guru yang demikian ini disebut “Guru Now”. Ini sebenarnya konsep dan sekaligus label baru yang diberikan oleh anak didik terhadap guru. Kata yang sederhana memang, kalau dimaknai secara sederhana. Akan tetapi, akan menjadi kata yang “pedas” dan sekaligus “sindiran” bagi guru, bilamana dimaknai secara mendalam. Kata itu dapat menjadikan cambuk bagi guru. Sehingga termotivasi untuk selalu berkembang dan terus berkembang sesuai dengan zamannya. Menjadi guru tak semata-mata mengandung arti memilih profesi untuk mengajar. Melainkan, menjadi guru sebenarnya tengah belajar kembali. Belajar untuk lebih memahami pelbagai bahan ajar, keberagaman perangai anak didik. Bila dianalogkan dengan tugas seorang arsitek, yang bertugas membangun gedung-gedung pencakar langit. Maka tugas guru adalah membangun arsitek tersebut. Artinya kuwalitas gedung tersebut sangat tergantung dari seberapa kuwalitas guru dalam membangun arsitek tersebut. Seorang guru tiap hari bertemu, mengajar dan mena-ngani kesulitan yang dialami anak didik, dan semua itu tersim-pan sebagai pengalaman. Amat sayang tentunya, bila ragam pengalaman ini hanya tersimpan rapi dalam hati. Dengan menulis seorang guru dapat berbagi ilmu dan pengalamannya untuk sesama. Dengan menulis, seorang guru akan meningkat-kan kecerdasan atau intelektualitasnya. Mengapa? Karena, untuk menulis, ia mesti menggali berbagai sumber informasi yang relevan. Aktivitas ini berdampak langsung terhadap peningkatan kemampuan intektual dan daya imajinasinya. Oleh karena itu, diperlukan komitmen dan alasan yang banyak sekali sebagai dalih bagi guru untuk menolak atau menghindari kegiatan menulis. Seperti disebutkan di awal, kesibukan-kesibukan yang padat menjadi alasan pamungkas untuk tak menyentuh aktivitas menulis. Alasan-alasan itu menjadi sah dan masuk akal. Akan tetapi, yang diperlukan sesungguhnya adalah komitmen. Artinya, ada tekad dari para guru untuk meluangkan waktu di sela-sela kesibukan mereka untuk menuangkan gagasan ke dalam bentuk karya tulis. Kalau guru berkomitmen, maka tidak akan ada alasan lagi baginya untuk menghindari aktivitas tulis-menulis. Komitmen itu seperti sebuah janji kepada diri sendiri. Dengan perkataan lain, diperlukan kebulatan tekad untuk menulis dan menjadi penulis. Selanjutnya, guna mendukung kegiatan ini diperlukan pembiasaan menggali pengetahuan dari berbagai sumber. Buku, majalah, koran, internet, radio, siaran televisi, dan berbagai bentuk sumber informasi lainnya, dapat dipakai sebagai bahan mentah untuk diolah menjadi tulisan. Oleh karena itu, guru yang menulis mesti rajin membaca, mendengar, menonton, dan mencatat. Karena hubungan antara membaca dan menulis sangat erat. Menulis memer-lukan membaca dan membaca membutuhkan menulis. Satu kata bijak mengatakan, tidak seorang pun dapat memberikan sesuatu yang tidak ia miliki. Demikian juga dengan penulis. Seorang penulis tidak dapat mempersembahkan sesuatu kepada orang lain, jika dia sendiri kosong. Dengan membaca, seorang penulis mengisi dirinya. Melalui membaca penulis menjelajah ide dan memetiknya. Ia menemukan ide baru. Dengan menuliskannya ia membagikan penjelajahannya. Membaca juga akan sangat berpengaruh pada gaya menulis guru. Menurut Hernowo, gaya tulisan bukan dikarenakan seringnya menulis tapi ditentukan oleh buku apa yang sering dibaca. Semakin banyak mereka membaca semakin baik tulisannya. Penulis yang menyampaikan pengetahuan dapat mengu-bah pola pikir seseorang, tanpa penulis sadari atau pikirkan sebelumnya. Artinya sebagai penulis, buku yang ditulis dan dibaca, mampu memberikan manfaat bagi orang lain. Ini tentu memberikan kepuasan tersendiri bagi penulis. Guru yang memiliki keahlian menulis dan melakukan kegiatan menulis setiap harinya, secara tidak langsung dirinya telah melakukan pengembangan diri secara non-formal. Mengapa dapat demikian? Karena satu tulisan yang dihasilkan oleh penulis, biasanya hasil saripati dari beberapa bacaan yang telah dibacanya, entah dari buku, jurnal ilmiah, media online atau cetak, hingga isu-isu kontemporer dan terbaru. Seorang guru yang menulis, tidak akan dapat menghasilkan tulisan tanpa dirinya banyak membaca. Proses membaca yang berkesinambungan, akan menghasilkan tulisan yang berkualitas. Semakin baik tulisan yang dihasilkan, akan semakin berkem-bang diri sang guru. Dengan demikian, bagi guru yang menulis, dirinya masuk ke dalam pengembangan diri secara penuh kesadaran dan tanpa paksaan oleh siapapun. Dirinya menulis bukan lagi karena ingin kenaikan pangkat, bukan lagi karena ingin mendapatkan penilaian oleh atasan, dan lain sebagainya. Yang ada dalam benaknya, menulis hanya sebagai media pengem-bangan diri, agar dirinya dapat menjadi guru profesional yang kehadirannya dapat dirasakan oleh anak didik dan masyarakat luas. Namun perlu diingat, pengembangan diri melalui kegiat-an menulis itu cukup berat. Karena tak semua guru dapat melaluinya. Bahkan, kadang ada yang menyerah di tengah jalan. Karena tak mampu menahan kemalasan yang datang bertubi-tubi. Apalagi, bagi guru dengan tingkat kesibukan yang cukup tinggi. Sehingga membuat laju kemalasan dalam dirinya semakin terakumulasi. Bagi guru yang ingin mengembangkan diri melalui kegiatan menulis, langkah utama yang harus ditempuh ialah menguatkan mental dan daya tahan agar dapat berlatih menjadi seorang guru penulis profesional. Selain menambah wawasan, menulis juga bermanfaat untuk orang lain. Artinya, ketika hendak menulis harus berhati-hati dalam menuangkan informasi. Membaca dan menulis memiliki korelasi yang kuat. Jika seseorang sudah memiliki kegemaran menulis dapat dipastikan ia adalah seorang yang suka membaca. Kompensasinya adalah ketika semangat membaca akan memiliki pengetahuan serta wawasan yang luas. Menulis juga dapat meningkatkan kecerdasan emosional guru. Ketika menulis secara tidak langsung guru akan belajar mengeksplorasi bahasa. Menemukan kosa kata baru. Dengan belajar berbahasa, akan terlatih untuk mengolah kata-kata dalam menulis. Ini akan membuat lebih cerdas secara emosio-nal. Aktivitas menulis pada dasarnya juga membuat setiap guru untuk terus belajar. Bergelut dengan keanekaragaman karakter anak didik tentu tak selalu berjalan mulus. Semangat guru dalam menyampaikan materi kadang tak disambut dengan semangat anak untuk mengikuti pelajaran. Ini masalah, dan harus dipecahkan. Sekaligus dapat dijadikan inspirasi dalam tulisan. Di tengah kelas, ada saja anak yang begitu sulit dinase-hati. Ada juga anak yang begitu aktifnya. Ia sulit diam, dan cenderung sulit mengikuti materi yang disampaikan oleh guru. Ini juga masalah. Harus dicarikan solusi untuk mengatasinya. Inipun dapat dijadikan bahan yang menginspirasi guru dalam menulis. Apalagi yang tidak dapat dijadikan inspirasi tulisan. Artinya di sekitar guru dalam kegiatan belajar mengajar tentu banyak inspirasi yang dapat dijadikan tulisan. Permasalahan yang muncul adalah maukah guru tersebut menulisnya? Yang dapat menjawabnya hanya diri guru tersebut. Masih malas atau tidak tahu cara menulisnya. Masalah demi masalah tentu saja bakal datang silih berganti. Masalah bukan alasan untuk menyerah. Adanya permasalahan justru membuat terus belajar. Kala seorang guru mendapati masalah, misalnya pada anak didik, maka guru dituntut untuk menyelesaikannya. Disinilah fungsi menulis sebagai pendongkrak semangat terus belajar. Selesaikan masalah itu dalam sebuah buku. Cari referensi terkait, lakukan tindakan langsung di kelas. Guru dapat berbagi ilmu pengetahuan dan teknologi yang memiliki kekuatan keimanan dan ketakwaan melalui tulisannya. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi guru akan mendapatkan sesuatu ilmu yang baru, dan akan mendaya-gunakannya dalam rel yang benar. Ilmu pengetahuan dan teknologi, keimanan dan ketakwaan, harus menyatu dalam kehidupan agar guru tidak hanya cerdas otak, tetapi juga cerdas watak. Pendidikan karakter bangsa harus dikembang-kan dari Ilmu pengetahuan dan teknologi dengan keimanan dan ketakwaan secara terpadu. Guru dapat menuliskan berita dan cerita dari apa yang dialaminya, sehingga dapat menjadi sesuatu yang menarik hati pembaca. Berita menjadi sebuah reportase yang meyakinkan, dan dapat membuat orang penasaran dari apa yang dicerita-kannya. Deskripsi dan narasi membuat orang menjadi semakin mengerti pentingnya berita terkini. Di sinilah fungsi guru sebagai jurnalisme warga, menyampaikan kebenaran dan bukan pembenaran dari apa yang dituliskannya. Guru dapat menciptakan informasi baru di internet, dan tidak lagi bermental unduh atau download. Sebab kebanyakan guru sekarang ini pasrah pada paman “google” untuk mencari informasi. Padahal tidak semua informasi tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Mental upload atau unggah harus terus dikembangkan, dan itu dimulai dari budaya menulis di kalangan guru.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer