Breaking News
Loading...
Senin, 26 Agustus 2019

GURU SEBAGAI MODEL DAN TELADAN TERKINI

07.10
GURU SEBAGAI MODEL DAN TELADAN TERKINI Oleh : Setyo Budi (Guru SMA Negeri 1 Andong, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah) Guru memiliki kontribusi yang besar dalam pengembangan dan perubahan tingkah laku anak didik. Guru bukan hanya membantu anak didik mengembangkan aspek kognitifnya, melainkan mengembangkan dan merubah tingkah laku anak didik menjadi lebih baik. Dalam konsep pendidikan, guru bertanggung jawab terhadap anak didik dari mulai sampai berakhirnya pembelajaran, bahkan sampai di akhirat. Oleh karena itu, guru memegang kunci keselamatan rohani dalam masyarakat. Sehingga guru disebut sebagai spiritual father yaitu bapak rohani bagi anak didik. Dalam pandangan masyarakat Jawa, guru memiliki posisi yang sangat terhormat. Masyarakat Jawa menyebut istilah guru berasal dari kata “digugu lan ditiru”. Kata “digugu” (dipercaya) mengandung maksud bahwa guru mempunyai seperangkat ilmu yang memadai sehingga ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Sedangkan, kata “ditiru” (diikuti) mengandung makna guru merupakan sosok manusia yang memiliki kepribadian yang utuh sehingga tingkah lakunya patut dijadikan panutan oleh anak didik dan masyarakat. Kriteria guru yang baik menurut Paku Buwono IV disampaikan dalam Serat Wulangreh, agar seseorang mencari guru yang mempunyai kejelasan asal-usul, baik martabatnya, tahu hukum, beribadah, bersahaja, pertapa, ikhlas dan tanpa pamrih terhadap pemberian orang lain. Dengan demikian, guru memiliki otoritas sebagai model atau figur bagi anak didik dalam mencapai tujuan pendidikannya yaitu insan yang kamil. Akan tetapi globalisasi telah membawa dampak yang luas di seluruh belahan bumi, termasuk Indonesia. Dampak modernisasi juga semakin merebak dengan ditandai pesatnya teknologi dan informasi yang bebas. Hal ini membawa dampak positif dan negatif. Guru harus semakin waspada pada era sekarang. Masalahnya dampak negatif lebih cepat berkembang di masyarakat, yang di dalamnya terdapat anak didik maupun guru itu sendiri. Khususnya guru yang merupakan panutan, teladan, atau sosok yang ditiru, ia justru harus membentengi diri terlebih dahulu. Berdasarkan pemberitaan mutakhir di berbagai media informasi, tentang banyaknya kasus kekerasan fisik maupun perilaku asusila yang dilakukan oleh oknum guru. Tragisnya kasus tersebut terjadi di lingkungan lembaga pendidikan dan korbannya adalah anak didik. Kasus korupsi kepala sekolah juga ikut menambah tercorengnya citra guru sebagai sosok model yang ditiru oleh anak didik. Kerusakan guru sebagai model dan pribadi tersebut membuat anak didik bingung dalam bercermin dan mengidentifikasi dirinya. Selain kasus di atas, terdapat realita bahwa seorang guru yang mampu menjadi model bagi anak didiknya, adalah mereka yang memberikan/ contoh gambaran seorang guru yang pantas menjadi sosok model. Dimana anak didik mampu mengidentifikasi dirinya sesuai model yang memang layak dan pantas. Seperti beberapa guru yang memberikan teladan kepada anak didiknya dengan menjadi petugas upacara, Pembina pramuka, ketua RT atau RW dan lain sebagainya. Dalam artikel ini saya akan membahas bagaimana guru menjadi model bagi anak didiknya, di sekolah. Agar tujuan menciptakan insan kamil dapat terwujud. Melalui seorang guru yang menjadi model, dapat mengantarkan anak didik memiliki akhlak yang luhur, spiritual yang kuat dan pengetahuan yang luas. Lembaga pendidikan dan guru, dewasa ini dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat. Terutama untuk mempersiapkan anak didik agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan yang berkembang dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi tidak hanya berkaitan dengan dinamika perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi juga menyentuh perubahan dan pergeseran aspek nilai dan moral dalam kehidupan masyarakat. Contoh, dekadensi moral dan karakter buruk yang ditunjukkan anak didik sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam dunia pendidikan. Kekerasan yang dilakukan anak didik kian memprihatinkan, seperti aksi premanisme yang dilakukan oleh anak didik yang tergabung dalam Geng. Geng barangkali hanya salah satu potret dari sekian banyak kenakalan remaja yang ada di lingkungan masyarakat. Kejadian ini mungkin juga pernah dialami oleh sekolah, namun tidak terekspos media massa. Isu-isu moralitas dan masalah sosial anak didik, seperti penggunaan narkotika, pornografi, perkosaan, perampasan, dan perusakan milik orang lain, sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana. Karena tindakan-tindakan tersebut telah menjurus kepada tindakan kriminal. Banyak orang berpandangan bahwa kondisi demikian diduga berawal dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Pendidikanlah yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap situasi ini. Dalam konteks pendidikan di sekolah, bisa jadi salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual semata. Aspek-aspek yang lain seperti aspek afektif dan kebajikan moral kurang mendapatkan perhatian. Integrasi pendidikan dan pembentukan karakter merupakan titik lemah kebijakan pendidikan nasional. Sekolah dan para guru memiliki peran dan tanggung jawab yang lebih besar dalam pembelajaran anak didik. Tidak hanya ditunjukkan untuk memenuhi harapan agar anak didik berhasil dalam aspek kognitif, tetapi harus menekankan pada aspek afektif. Dengan kata lain, peningkatan dan penekanan pada aspek kognitif harus diimbangi dengan upaya peningkatan dan pengembangan aspek afektif anak didik. Sehingga pendidikan karakter dan kebajikan moral juga tidak boleh diabaikan. Keadaan ini nampaknya sudah dipahami dan disadari pemerintah. Sehingga tersebar isu kerisauan dan kerinduan banyak pihak untuk kembali memperkuat pendidikan karakter dan budaya bangsa. Pemerintah bertekad untuk memperkuat karakter dan budaya bangsa tersebut melalui pendidikan di sekolah. Kalau kita perhatikan, saat sekolah didirikan, salah satu misi utamanya adalah untuk mengajarkan kebajikan moral. Banyaknya penyimpangan moral di kalangan anak didik saat ini menjadikan tugas guru dan perancang bidang pendidikan moral. Menurut Koesoema, di tengah perubahan tata nilai dalam masyarakat yang begitu cepat, guru tetap dituntut untuk menjaga integritas dasarnya sebagai guru karakter. Artinya, dalam kondisi tersebut guru dituntut dan tetap konsisten dapat menegakkan, membangun moral dan karakter yang baik bagi anak didik. Guru diharapkan untuk mengajar dan mendisiplinkan anak didik sehingga dapat menghormati otoritas dan bertanggungjawab dalam menyelesaikan pelajaran. Hingga dewasa ini, harapan-harapan ini pada dasarnya tetap tidak berubah. Guru memiliki peran yang sangat besar dan berpengaruh dalam kehidupan anak didik. Oleh karenanya masyarakat masih tetap berharap para guru untuk menampilkan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai moral. Seperti keadilan, kejujuran, dan mematuhi kode etik profesional. Sebuah kebajikan sosial dihargai secara sosial. Sementara kebajikan moral, seperti kejujuran, dihargai secara moral. Menurut Lickona, sekolah dan guru harus mendidik karakter, khususnya melalui pengajaran yang dapat mengembangkan rasa hormat dan tanggung jawab. Dalam tugasnya sebagai guru, ia berinteraksi dengan anak didik, melayani dan berperan sebagai model pengembang karakter. Oleh karena itu, guru dapat membuat penilaian dan keputusan profesional yang didasarkan pada kebajikan sosial dan moral. Koesoema, menegaskan bahwa terlepas dari berbagai macam posisi yang disandangnya, sadar atau tidak, perilaku dan tindakan guru dalam melaksanakan tugasnya merupakan wahana utama untuk pembelajaran karakter. Seseorang yang berkarakter memiliki kebijaksanaan untuk mengetahui dan membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Misalnya karakter; jujur, dapat dipercaya, adil, hormat, dan bertanggung jawab, mengakui dan belajar dari kesalahan, dan berkomitmen untuk hidup menurut prinsip-prinsip ini. Lickona menunjukkan bahwa karakter adalah penjelasan fenomena universal dari orang-orang yang memiliki keberanian dan keyakinan untuk hidup dengan kebajikan moral. Karakter mencakup berbuat sesuatu menjadi lebih baik dan melakukan yang benar, sementara perilaku tidak etis merupakan antitesis karakter. Setiap kali anak didik terjebak dalam permainan emosi, seperti melukai orang lain atau berperilaku curang, tidak akan menjadi baik atau tidak benar. Demikian pula, jika anak didik menyontek pada saat ujian, pada hakikatnya tidak memiliki karakter dan dasar moral yang baik. Kajian-kajian ilmiah tentang perilaku tidak terpuji (amoral) yang dilakukan anak didik dalam dunia pendidikan di Indonesia sangat terbatas.
 
Toggle Footer