Breaking News
Loading...
Senin, 11 Juli 2011

Dinamika Budaya Karo

18.50

Dinamika Budaya Karo


I. Berkenalan dengan Taneh Karo Si Malem
I.1. Dunia Karo
Kekerabatan di Tanah Karo diikat dalam sangkep si telu yang menunjuk kepada tiga pilar yang kuat dan saling mendukung. Walau ketiga-tiganya terpisah dan memiliki fungsi berbeda, tetapi saling mendukung. Dalam masyarakat Karo ketiga pilar itu digelari kalimbubu (orangtua dari pihak istri dan semua saudara laki-laki dari pihak istri yang terdapat dalam keluarganya dan juga keluarga dari pihak ayahnya yang masih satu ibu), kemudian senina/sembuyak (semua orang yang dalam istilah Karo dipandang sebagai saudara laki-laki atau perempuan) dan anak beru (keluarga-keluarga yang temasuk dalam keluarga yang menikahi istri).
Elemen yang paling mendasar di dalam masyarakat Karo adalah merga atau marga, yang oleh banyak orang Karo diartikan sebagai sesuatu yang “berharga”. Ada lima marga yang terdapat pada masyarakat Karo, yaitu: Karo-Karo, Sembiring, Tarigan, Ginting, Perangin-angin, beserta sub-sub marga yang ada dalam masing-masing marga itu.
Dalam kesatuan lima marga itu (Merga Silima), itulah yang disebut orang Karo. Seorang anak laki-laki akan terus mewariskan marga itu dari ayahnya. Seorang perempuan akan menyandang juga marga ayahnya sebagai beru (perempuan), dan akan terus disandang sampai menikah. Di samping identitas marga dan beru, setiap orang Karo juga memiliki bere-bere (marga yang diperoleh dari ibu/beru). Dua orang yang memiliki bere-bere yang sama dipandang sebagai saudara kandung dan juga menjadi senina (saudara kandung dalam jenis kelamin yang sama) atau turang (dalam jenis kelamin yang berbeda).
Yang mempererat masyarakat Karo adalah adat, sebuah relasi tradisional untuk membuat keputusan dan melakukan apa saja. Akan terlihat bahwa adat tidak dapat dibedakan secara jelas dari kepercayaan, agama dan tindakan, kenyataan hidup yang sangat rumit bagi orang-orang Karo yang telah berpikiran modern dalam masyarakat pluralis saat ini. Adat dipandang sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang supranatural dan memiliki hukum-hukumnya sendiri. Sebagai contoh, seseorang yang telah menikah dan memiliki anak, maka untuk memanggilnya tidak boleh lagi menyebut nama, tetapi nama anaknya disebutkan. Jadi ia akan dipanggil sebagai bapak si “anu”. Ini sebagai sebuah tanda penghargaan, karena seseorang yang sudah memiliki anak telah mendapatkan tuah(berkat). Dengan memanggil seperti itu berarti ia telah dihormati. Banyak lagi panggilan-panggilan yang lain yang dibubuhkan kepada seseorang untuk menggantikan namanya sesuai dengan posisinya dan juga usianya. Nama tidak lagi dipakai, itulah sebagai ungkapan hukum adat yang diberlakukan.
Setiap orang Karo, di mana pun ia berada, ketika bertemu, untuk mengetahui posisi masing-masing dalam kekerabatan melakukan ertutur atau berkenalan. Dalam proses ertutur inilah nantinya mereka akan menemukan (satu dengan yang lain) harus memanggil apa dan dalam posisi apa.
Di dalam keluarga, baik suami maupun istri pada dasarnya memiliki tanggung jawab untuk saling menjaga satu dan yang lain, dan saling menghargai. Sikap seperti ini tumbuh dalam sistem ikatan penghormatan terhadap sangkep si telu yang sudah disebutkan tadi.
Rumah merupakan satu simbol yang penting bagi orang Karo. Rumah orang Karo yang dibangun memiliki ciri khas tersendiri. Rumah orang Karo yang masih tradisional dapat langsung diketahui dengan cepat, karena ciri yang ditunjukannya melalui bentuk bangunan yang unik, yakni atap yang terbuat dari ijuk dan selalu memiliki dua atau empat buah bentuk segi tiga (melambangkan sangkep si telu) yang masing-masing ujungnya diikatkan kepala kerabu.
Orang Karo telah memiliki kepercayaan atau sekarang disebut sebagai agama, yaitu Kiniteken Si Pemena (kepercayaan mula-mula). Kepercayaan orang Karo adalah perbegu yang berarti penyembah roh-roh orang mati. Kepercayaan ini tidak memiliki kitab suci, tidak ada teologi yang sistematik dan tidak ada dogma. Di dalam kepercayaan ini hal-hal yang menyangkut dengan ritual di dalamnya ditangani oleh seorang guru sibaso3. Guru menjadi pengantara antara orang-orang Karo dengan yang dipercayainya. Elemen yang paling kudus di dalam dunia orang Karo adalah begu (roh orang mati) dan secara khusus adalah roh nenek moyang. Dalam kepercayaan orang Karo terhadap begu ini, roh dan jiwa itu terpisah. Jiwa itu merupakan dasar dari kehidupan seseorang dan kekuatannya, dan ini diterima sebelum lahir, pada waktu pertama kali ia dikandung.
Jiwa dapat hidup dalam organisme dan di dalam benda-benda seperti besi. Beras dipandang sebagai sesuatu yang memiliki jiwa yang kuat dan digunakan dalam memberkati ritus-ritus untuk menguatkan jiwa seseorang. Dalam diri seseorang terdapat tiga bentuk, pertama tubuh atau (kula), jiwa (tendi) dan nafas (kesah) dan setelah kematian ketiga bagian ini berubah menjadi bagian yang berbeda-beda. Tubuh menjadi tanah, jiwa menjadi begu dan nafas menjadi angin. Dalam kepercayaan Karo, begu itu bukanlah sebagai sesuatu yang menakutkan saja, tetapi sesuatu yang bisa memberikan pertolongan dan memberikan perhatian. Biasanya begu-begu ini disebut sebagai jin ujung walaupun istilah ini dalam pengertian lain adalah roh seseorang yang meninggal secara tidak wajar.
Orang Karo juga memiliki ritual pemanggilan terhadap roh-roh yang sudah mati dalam rangka mengingat kembali orang yang sudah mati tersebut. Yang lebih penting lagi ialah bagaimana begu itu menjadi begu dalam keluarga yang dinamai dengan dibata jabu (tuhan keluarga). Ini adalah roh yang mati dalam satu hari oleh karena kecelakaan, kekerasan, atau mati bukan karena sakit. Roh seperti ini dalam pandangan orang Karo memiliki kekuatan yang hebat. Setelah melakukan ritus pemanggilan begu, maka roh orang mati tersebut menjadi roh pelindung di dalam rumah yang akan melindungi keluarganya dari kekuatan-kekuatan yang jahat. Namun apabila ritus pemanggilan itu tidak dilakukan, maka roh itu akan gentayangan dan dapat mengganggu orang-orang. Inilah yang sering membuat orang merasa takut.
Dalam kepercayaan orang Karo, memperoleh keselamatan dirasakan ketika begu jabu (roh pelindung keluarga) melindungi keluarganya. Keselamatan bagaimanapun dipahami sebagai kekuatan yang menghindarkan keluarga dari penyebab-penyebab sakit dan permasalahan-permasalahan lain, sama sekali tidak sama dengan eskatologis keselamatan (kekristenan). Kepercayaan orang Karo itu adalah animisme dan dinamisme.
Orang Karo merefleksikan trimurti agama Hindu; Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Siwa sebagai penghancur. Di dalam pemahaman orang Karo ketiga ini disebut sebagai dibata i datas (tuhan di atas), dibata i tengah (tuhan di tengah), dibata i teruh (tuhan di bawah)4.
Ketiga dibata ini bagaimanapun termasuk di dalam sejarah penciptaan orang Batak yang sama dengan Karo. Ketiga dibata inipun sering juga disebut sebagai dibata kaci-kaci, hal ini sering kali disebutkan dalam mantra-mantra orang Karo.
Orang Karo juga memiliki banyak legenda, sejarah, mitos, kemudian memiliki musik Karo, tarian yang seluruhnya ada di dalam spirit kepercayaan orang Karo tadi. Kata dosa bagi orang Karo (tetapi tidak secara sempurna dipahami) dapat dirasakan dengan kenyataan-kenyataan yang menunjukkan ketidakberuntungan. Sebagai contoh, sakit. Di dalam keluarga, ini dipadankan dengan kata dosa, tetapi sebenarnya bukan dosa melainkan penghakiman. Bagi masyarakat Karo modern, tanpa dipengaruhi oleh agama-agama, dosa dapat disebut sebagai sesuatu yang salah, yang secara sosial dipandang melanggar peraturan atau melakukan suatu yang dilarang. Hanya di dalam Kekristenan orang Karo kemudian memperoleh ide tentang dosa sebagai sebuah penyebab manusia berpisah dengan Allah. Jadi orientasi etika dunia Karo sebenarnya adalah kesalahan tindakan dan konsekuensinya.
Di dalam kepercayaan Karo ini kita sudah dapat melihat bagaimana konsep tentang Allah itu ternyata sudah ada sebelum konsep allah yang diadopsi dari kepercayaan Hindu tentang tiga allah. Dua konsep yang sangat berpengaruh adalah tentang allah nenek moyang Batak, percaya kepada Si Mula Jadi Na Bolon dan kemudian konsep trimurti orang India yang telah bercampur sepertinya menawarkan sesuatu yang mendalam (baru), tetapi unsur-unsur yang berbeda ini sulit dibedakan oleh mereka yang telah menjadikan agama ini sebagai agama mereka sendiri. Dalam waktu yang sama, inilah yang membentuk agama terpenting orang Karo (perbegu), dan mereka melupakan asal-usulnya, inilah alasan mengapa kepercayaan kepada Allah adalah sesuatu yang abstrak dan sangat sempit dipahami orang Karo tradisional. Sebagai pemuja terhadap jiwa dan roh, dan ilmu pengetahuan dari guru, bagi orang Karo, semuanya itu jauh lebih menjanjikan bantuan pada waktu ada kebutuhan (persoalan-persoalan, atau masalah-masalah lainnya).
Sampai saat ini pun masih banyak orang Karo yang walupun gaya hidupnya sudah modern, tetapi masih mengikuti ritual-ritual untuk mencari tahu solusi setiap persolan yang dihadapinya (entah itu jodoh, pekerjaan, dan sebagainya). Fenomena ritual ini dapat kita saksikan pada setiap wari cukera dudu (salah satu hari dalam kalender Karo) di kaki gunung Sibayak, tepatnya di lokasi pemandian air panas “Lau debuk-debuk”.
I.2. Pengaruh Agama-agama Baru di Karo
Aceh telah menganut agama Islam dan jaya pada masa pemerintahan Iskandar Muda. Demikianlah Islam kemudian timbul di Tanah Karo. Akan tetapi ada ketegangan waktu itu yang terjadi antara orang Karo dan Aceh, sehingga Islam kurang mendapatkan perhatian dari orang-orang Karo. Hal ini disebabkan karena orang Karo menganggap Aceh (Islam) sebagai musuh. Permusuhan antara Aceh dan Karo ini bisa kita lihat melalui cerita-cerita seperti Putri Hijau dan lain-lain.
Kedatangan orang Eropa pertama kali adalah ketika William Marsden yang melaporkan perjalanannya ke Sumatera tahun 1783. Walaupun ia tidak mengunjungi Tanah Karo, tetapi Marsden telah membuat observasi yang penting tentang kepercayaan Batak, adat dan tradisi, dan hal-hal yang menarik di sana.
Masyarakat Karo sebelum kolonial memiliki kebebasan politik dan ekonomi. Masyarakat Karo sebelum kolonial tidak memiliki pemerintahan yang terpusat atau pemerintahan atau sistem daerah, dan Tanah Karo yang terisolasi menyebabkan ketidak-berkembangan ekonomi di sana. Hal inilah yang mendorong orang-orang Karo untuk pergi ke daerah-daerah lain. Orang-orang terpandang yang ada di dalam masyarakat pada waktu itu disebut sebagai pengulu, raja atau guru.
Bagaimanapun juga kehadiran orang Eropa di dalam masyarakat Karo inilah yang pada akhirnya membawa perubahan sistem-sistem pemerintahan, demokrasi dan lain-lainnya di Tanah Karo, dan inilah yang akhirnya memperbaharui masyarakat. Pengaruh pietisme Barat, kehadiran para zendeling, memberikan warna baru dalam perkembangan religius di Tanah Karo, tetapi bagi mereka yang non-Kristen kadang-kadang kurang bisa terbuka.

I.3. Proses Perubahan Agama
Kehadiran misi Protestan dan kolonialisasi di Tanah Karo dimulai ketika seorang zendeling dari badan NZG dan beberapa orang dari Minahasa pada tahun 1890. Setelah melihat situasi yang ada, lalu mereka membuat tempat perhentian di Buluhawar, sebuah kampung yang terdiri dari dua ratus rumah tangga, sekitar lima puluh kilometer sebelah selatan kota Medan. Di sinilah kemudian dibangun sekolah yang pertama, akan tetapi kekristenan belum diterima oleh orang Karo pada masa itu. Baru ketika H.C. Kruyt digantikan oleh J.K. Wijngaarden yang dipindahkan dari Sawu, Indonesia Timur, melakukan pembaptisan pertama terhadap enam orang Karo pada bulan Agustus 1893. Kemudian kekristenan ini berkembang walaupun menghadapi tantangan karena pada waktu itu. Setiap orang Karo yang menjadi Kristen memiliki dua tantangan, yaitu mengkomunikasikan kepercayaan orang Kristen bagi mereka yang masih hidup dalam agama awal dan mengajak orang-orang Karo untuk tidak memandang Kristen itu secara otomatis adalah Belanda Hitam.
Misi Kristen di Tanah Karo tahun 1890-1942 secara signifikan dapat dilihat melalui komunikasi-komunikasi orang Eropa, melalui misi yang memperkenalkan teknologi, mempelajari bahasa, dan pendidikan. Semua ini merupakan sumbangan yang berharga dari para misionaris kepada orang-orang Karo. Demikanlah pada akhirnya masyarakat Karo sebagian dipengaruhi oleh kekristenan, ini sangat terlihat dengan bagaimana Zending membentuk persekutuan orang muda Karo, kemudian juga mencetak tenaga pendeta melalui sekolah-sekolah di Sipoholon, dan membentuk klasis yang pada akhirnya bertumbuh menjadi Sinode. Tahun 1940 setelah lima puluh tahun aktivitas misionaris di Tanah Karo, hanya ada sekitar lima ribu orang Karo yang dibaptis yang dilayani oleh misionaris NZG dan tiga puluh delapan guru evangelis Karo. Perkembangan misi yang lebih sukses terjadi ketika perang dunia ke II berakhir. Dalam kongres sejarah budaya Karo 1958 disimpulkan, ketika misionaris mengakhiri karyanya dan menghasilkan berbagai hal-hal yang berkembang, sedikit banyak telah membuat keberhasilan bagi orang-orang lokal.
Selain masuknya Protestan di Tanah Karo, Katolik yang masuk ke Tanah Karo juga berkembang. Misi Katolik yang ditujukkan ke daerah Simalungun, Dairi adalah dasar pendekatan yang pada akhirnya menyentuh Tanah Karo. Misi Katolik di Tanah Karo kemudian dihentikan oleh Jepang. Hal ini disebabkan karena hampir semua imam-imam Belanda tidak boleh diizinkan lagi menjalankan pekerjaannya sepanjang revolusi, dan komunitas Katolik Batak sepanjang periode ini sesekali didatangi oleh imam dari Jawa. Dalam periode ini pengajaran hanya dilakukan pada saat-saat tertentu dilakukan oleh seorang imam yang berasal dari Jawa. Baru setelah tahun 1947 dimulailah misi yang sebenarnya di Tanah Karo.
Dalam perjuangan revolusi untuk kesatuan bangsa dan kebebasan, seperti sebuah pekerjaan yang mendorong partisipasi orang Karo Kristen untuk ikut ambil bagian, dengan kesetiaan kepada bangsa yang baru dan untuk mewujudnyatakan sebuah bangsa yang ideal. Sepanjang revolusi sosial tahun 1946, sebagian orang Karo Kristen menderita. Pdt. Pasaribu dan Guru Agama Simatupang ditangkap oleh orang lain di Lingga dan dibunuh oleh anggota-anggota dari Barisan Harimau Liar, yang sepanjang tahun 1946 melakukan pesta pembantaian di Tanah Karo. Pa Rita Tarigan juga dibunuh oleh orang tak dikenal di Kabanjahe karena diduga bersekutu dengan Belanda. Banyak orang Kristen yang lain juga mengalami penderitaan kekerasan karena diduga mendukung rezim kolonial.
Ketika tentara Belanda memasuki dataran tinggi Karo pada bulan Juli dan Agustus 1947, semasa konflik pertama, pemimpin GBKP menolak untuk mengakui kebenaran campur tangan kolonial dan menolak ijin kepada seorang militer Belanda berkhotbah di GBKP, walaupun ia adalah seorang mantan misionari dan fasih berbahasa Karo. Ketika sinode membuat keputusan formal, pemimpin gereja itu dan jemaat-jemaat Kristen mengambil posisi yang pro-republik, berdoa pada hari Minggu untuk perjuangan republik, di mana banyak anggota gereja yang juga secara aktif termasuk di dalamnya. Sepertinya, gambaran pro-kolonial gereja menjadi ancaman bagi beberapa anggotanya dalam memperjuangkan kebebasan republik. Begitulah seterusnya, untuk menjaga keamanannya, maka gereja turut berperan dalam perjuangan bangsa, sehingga ia tidak dipandang sebagai bagian dari pendukung kolonial.
1.4. Modernisasi dan Pengaruhnya di antara Orang Karo
Kita sudah melihat sendiri pada butir 3, bagaimana pemikir orientalis (Simon Rae) mengapresiasikan kehadiran Barat dan kekristenan dari sudut pandang modern, sehingga kita diajak melihat satu sisi saja dampaknya, yaitu keterlepasan orang Karo dari keterbelakangannya (dalam bidang ilmu pengetahuan) dan kepercayaannya (dalam bidang agama). Di sana kurang disinggung secara jujur, bagaimana para kolonial, termasuk para zendeling sebenarnya menghadirkan dampak negatif kehadiran mereka.
Kalau kita melihat sejarah, tentu saja kita dapat memahami bahwa modernitas diperkenalkan kepada orang Karo oleh kehadiran para kolonial, dan kehadiran para zendeling. Modernisme adalah paham yang berpendapat bahwa peradaban manusia bisa berkembang bila modernitas dan perkembangan IPTEK dipesatkan dan dimajukan, di mana rasionalisme diterapkan dalam teknologi dan industrialisasi, untuk mencapai kemajuan masyarakat.
Namun di balik tujuan dan cita-cita yang indah itu, siapa sangka, ternyata ada sisi-sisi negatif yang diakibatkannya. Akibat negatif itu antara lain disebutkan oleh Mudji Sutrisno sebagai berikut:
1.      Modernisme memiliki kecenderungan untuk “masifikasi”, penyeragaman manusia dalam kerangka kerja teknis, sistem kerja industri yang menempatkan semua orang sebagai mesin atau skrup dari sebuah sistem rasional.
2.      Modernisme bersifat sekularisme yang berarti tidak diakuinya lagi adanya ruang nafas buat yang ilahi atau dimensi religius dalam hidup ini.
3.      Modernisme memiliki orientasi nilai-nilai yang menomorsatukan instant solution, resep jawaban yang tepat, cepat, langsung dalam tempo sesingkat-singkatnya. Maka yang muncul adalah sistem jawaban paket terhadap persoalan-persoalan hidup. Padahal hidup itu sangat dinamis (proses jatuh bangun, seperti pertumbuhan seseorang dari bayi sampai dewasa).
4.      Gejala atomisme dari modernisme juga turut merupakan sisi negatifnya, entah terpencarnya tempat kerja suami dan istri dengan rumah, entah berkeping-kepingnya keamanan ikatan keluarga besar menjadi keluarga-keluarga kecil, entah berkepingnya solidaritas kampung yang dicabut akarnya lantaran menjadi pekerja-pekerja di kota atau pinggiran kota.
Teknologisme yang secara reduksionis memutlakan rasionalitas teknis atau sarana sebagai cara kerja hingga melupakan rasionalitas kehidupan sebagai rasionalitas tujuan. Benturan tajam yang terjadi adalah gap (celah) eksistensialisme, di mana kawanan mayoritas masyarakat masih bereksistensi dengan logika sarana demi mencapai tujuan (means to ends logic), padahal elite kekuasaan (gabungan teknokrat, teknolog, militer, penguasa dan birokrat) sudah melaksanakan tanpa kompromi sebuah eksistensi totally centralized engineered society yang totaliter.
A. Ginting Suka menguraikan dampak negatif dari modernisasi di antara orang Karo sebagai berikut:
1.      Orang Karo yang dalam hidup tradisionalnya berpaham komunalistis menjadi individualisme. Masing masing orang mengerjakan pekerjaan mereka sendiri, tidak tergantung kepada siapa pun.
2.      Karena hidup manusia cenderung berorientasi kepada nilai-nilai material, maka banyak terjadi tindakan melanggar ketentuan etis, seperti perjudian, jula-jula (arisan), usaha penggandaan uang, rumah maksiat dan kriminalitas.
Cara kerja berpola pada other directed, atau diarahkan dari luar seperti orang bekerja menurut kebutuhan pasar, pekerjaan industri oleh direksi perusahaan yang memperlakukan pekerja-pekerjanya sebagai rasional instrumen dalam proses berproduksi.
Djanggun B.D. Sitepu (pakar budaya) menyebutkan ciri-ciri masyarakat modern dan dampaknya bagi orang Karo sebagai berikut:
·         Lebih menggunakan akal pikiran/rasional
·         Yang bersifat dogmatis kurang mencapat tempat
·         Waktu dan ilmu pengetahuan sangat dihargai
·         Kebendaan menjadi ukuran nilai dan ukuran keberhasilan/materialistis Dampaknya sebagai berikut:
·         Kegotong-royongan, kebersamaan, tradisi lama akan goyah, sementara nilai-nilai baru belum mengkristal.
·         Kebutuhan material semakin meningkat, sementara kemampuan untuk mencapainya masih terbatas
Kedua hal di atas sangat mempengaruhi tata pergaulan termasuk sikap, tindakan antar individu dan antar kelompok di dalam masyarakat.
Dari pendapat para tokoh di atas, kita bisa merasakan bagaimana modernisasi telah banyak melunturkan nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat Karo, sekaligus ada upaya menanamkan nilai-nilai baru. Sayangnya, orang Karo malah terjebak dalam “kerancuan” untuk mengambil sikap terhadap perubahan itu. Inilah penyebab utama, identitas orang Karo menjadi kabur. Akibat yang paling rentan adalah terkikisnya nilai-nilai kekerabatan. Akankah sistem kekerabatan dalam sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) yang mencirikan orang Karo akan hilang dalam masa pascakolonial ini?
Gejala-gejala memudarnya pemahaman orang Karo atas identitasnya dapat juga dirasakan dari bagaimana hasil karya sastra Karo yang mandek setelah tahun 1990-an. Kemudian berkurangnya bahasa Karo dipakai di antara kaum muda khususnya. Hal ini begitu disadari, misalnya dalam sebuah website seorang pemuda Karo menulis demikian: Kita sering lupa dan tidak melihat seberapa penting bahasa Karo dilestarikan, padahal sebagai “kalak Karo” (orang Karo) yang diembel-embeli dengan Marga/Beru sebagai identitas, kita sering melupakan kelangsungan salah satu unsur penyusun kebudayaan kita sendiri yaitu “Cakap Karo” (bahasa Karo). Sebagai orang Karo kita wajib mentransfer ilmu yang kita bawa dari kuta kemulihen (kampung halaman) untuk sahabat-sahabat kita yang lahir di perantauan. Jangan sebaliknya kita malah terbawa arus bahasa setempat, sehingga kita melupakan bahasa yang kita bawa dari Kuta. Dalam pergaulan sesama kalak Karo kita sering melupakan identitas kita, mungkin kita malu karena sering diledekin berbahasa “planet”.
Mungkin sudah banyak pemuda-pemudi lain yang juga memiliki pikiran yang sama, tetapi mengapa kritik terus menerus menjadi kritik, tanpa ada perkembangan. Mulai dari Masri Singarimbun, yang aktif menulis di tahun 70-an sampai 90-an sampai sekarang yang ada adalah keresahan akan lunturnya budaya Karo. Akan tetapi kalau ditinjau dari segi aksi pelestarian, masih sangat minim sekali terlihat.

1 komentar:

 
Toggle Footer