Breaking News
Loading...
Senin, 11 Juli 2011

Kekuasaan Negara, Moralitas Publik dan Privat

18.33
Kekuasaan Negara, Moralitas Publik dan Privat

Semua  program  politik  pada  prinsipnya  bermuatan  nilai,  dalam  arti  didasarkan  pada  asas-asas kehidupan privat dan publik semua pihak yang diselenggarakan menurut tata kehidupan bernegara. Asas-asas dasar ini tak pelak memiliki konsekuensi praktis. Karenanya, kesepakatan tentang cita-cita moral yang hendak diterapkan dalam tatanan baru yang ter-reformasi, baik secara publik maupun privat, menjadi hal yang harus ada. 

Sebenarnya  kesepakatan  tentang  cita-cita  moral  bukan  tidak  ada.  Ada,  hanya  sayang,  realitas adanya  ditiadakan  justru  oleh  cara  mengadanya.  Pancasila  yang  dimaksudkan  sebagai  rujukan  moralitas dalam  kehidupan  berbangsa,  bermasyarakat  dan  bernegara  justru  mengalami  pendangkalan  makna, bahkan  menciptakan  demoralisasi  praktik  hidup  publik  maupun  privat,  justru  karena  cara  mengadanya; tatkala  Pancasila  dijadikan  semacam  “burung  perkutut”  guna  memuaskan  siapa  pun  yang  mau mendengarnya  apalagi  memanfaatkannya.  Orde  baru  memperlakukan  Pancasila  bukan  sebagai  reflektor yang  membawa  segenap  warga  dan  penyelenggara  negara  ke  titik  penyadaran  diri,  tetapi  lebih  sebagai legitimasi kekuasaan dan atribut untuk memecah-belah melalui identifikasi sosial. 

Pandangan dan Praktik Moralitas

Seharusnya,  memang,  tidak  terjadi  inkonsistensi  antara  pandangan  dan  praktik  moralitas. Realitasnya,  inkonsistensi  itu  terjadi.  Dan  bahwa  itu  terjadi,  bahkan  menjadi-jadi,  tidak  harus  dijadikan justifikasi  untuk  mempersoalkan  kualitas  kemanusiaan  dari  sang  aktor,  ko-aktor  atau  pun  konteks  sosial yang bersama-sama mengkonstruksi kejadian. Sekalipun ada rasa hormat atas iktikad baik dari aktor dan ko-aktor; pun tanpa menyalahkan konteks di mana pandangan moralitas diejawantahkan dan mengambil tempat dalam tindakan, tetap saja ada komponen yang terlepas dari perhatian kita. 

Jika dari inkonsistensi itu kemudian harus diusulkan suatu alternatif solusi agar, misalnya, negara membedakan secara jelas antara ruang publik dan ruang privat sehingga terjadi perombakan cara pandang terhadap  realitas  di  mana  hak-hak  hidup  privat  individu  dalam  relasinya  dengan  negara  harus dikalkulasikan  kembali,  maka  cara  yang  harus  ditempuh  tentu  bukan  dengan  menciptakan  "moralitas baru" untuk mendiskreditkan bahkan mencampakkan moralitas lama. Juga bukan dengan merevisi bahkan mengganti  moralitas  lama  itu  dengan  moralitas  baru.  Mengabaikan  --tentu  untuk  sementara-- kemungkinan-kemungkinan  penyelesaian  sejenis,  saran  yang  lebih  reformatif  dan  dekonstruktif  ialah memperlakukan hubungan aktor-koaktor pada konteks bersama dengan me-reka-kan kemungkinan baru, yakni melalui penciptaan kontrak sosial baru. 

Artikulasi  kontrak  sosial  antara  individu  (warga  negara)-negara  yang  memungkinkan  negara memaksa  individu  dengan  ancaman  bahwa  "I  will  not  hurt  or  kill  you  if  you  give  me  what  I  want.", misalnya, tidak harus ditafsirkan sebagai "amoralisasi negara terhadap warganya". Hal ini sepadan dengan contoh  peralihan  kontrak  sosial  yang  direformasi  --kalau  tidak  didekonstruksi--  oleh  gerakan  feminisme ketika  peristiwa  pemerkosaan  (rape)  bukan  lagi  peristiwa  seks,  tetapi  peristiwa  dominasi  pihak  satu  atas pihak lain, peristiwa degradasi kemanusiaan, dan peristiwa pengendalian dan penindasan satu pihak atas pihak lain. 

Jelasnya, hubungan di antara negara-warga negara dalam dataran moralitas tak harus dimutlakkan sebagai  kebutuhan  negara  untuk  memaksakan  pemapanan  moralitas  yang  kalau  dipandang  dari  sudut humanitas tak lain berintikan penculikan, perampokan, penyanderaan, dan perampasan hak-hak individual melalui dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan. Sebab,  segala  bentuk  penculikan,  perampokan,  penyanderaan,  dan  perampasan  hak-hak individual  tidak  hanya  mengundang  kritik  pada  berlangsungnya  pengingkaran  negara  atas  kontrak  sosial, tetapi lebih jauh lagi ialah pada perampasan pribadi dan kebebasan korban, yakni warga negara.  Jika martabat individu terletak pada fakta bahwa ia merupakan moral agent yang bertindak atas dasar  kehendak  sendiri,    pun  dalam  pertukaran  sosial  yang  bebas,  maka  apa  yang  diperlakukan  oleh negara dengan segala bentuk pemaksaan dengan sendirinya memperkosa dan menindas martabat korban. Hal ini sama saja dengan tindakan memperbudak. 

Jika demikian, maka kebebasan dan diversitas tanggapan seseorang aktor sosial terhadap ko-aktor yang dianggap memerlukan pertolongan boleh jadi tidak sekadar memberikan nilai tambah kemanusiaan bagi diri aktor, tetapi mengangkat martabat humanitasnya. Namun ketika tindakan menolong itu dilakukan semata-mata karena diharuskan dan  dipreskripsikan  di dalam Ekaprasetya Pancakarsa, misalnya, tak  ada  jaminan bahwa tindakan itu memebangkitkan diri sang aktor. 

Pada  titik  ini,  moralitas  yang  dipaksakan  oleh  instansi  lain  di  luar  individu,  kendati  dapat direalisasikan  ke  dalam  wujud  tindakan,  bukanlah  menjadi  realisasi  nilai  moral,  yang  pada  gilirannya mengangkat  martabat  kemanusiaannya,  tetapi  justru  merobohkan  dan  meluluh-lantakkan  martabat  itu. Dari  sinilah  reformasi  moral  yang  menyangkut  hubungan  negara-warga  negara  seyogyanya  dipercayai dalam setiap sistem religiusitas, hidup adalah anugerah Sang Pencipta. Berarti, bahwa ketidakpedulian atas hidup yang diporakporandakan kekerasan adalah suatu persetujuan atas perlawanan terhadap kehendak Sang  Pencipta.  Jadi,  menaruh  rasa  hormat  dan  melakukan  kewajiban  mempertahankan  nilai  kehidupan dalam komunitas menjadi keniscayaan.

Gelombang  kekerasan  yang  silih  berganti  membuat  anggota  masyarakat  menderita  karena  hak-hak  hidupnya  dirampas  dan  direnggut  oleh  kekuatan  yang  sama  sekali  tak  berhak..  Sikap  yang  tak  jelas perihal pemeliharaan kelangsungan hidup apalagi tanpa upaya untuk mempertahankannya menimbulkan rasa bersalah, sebab dengan sendirinya ia telah melawan Sang Pencipta. 

Dalam  krisis  moral  bangsa  Indonesia,  "kehalusan  rasa  (cowardice)"  dan  "rasa  hormat  pada  diri sendiri  (self-respect)"  telah  menghilang  dari  wacana  publik.  Wacana  publik  lebih  menawarkan  rasa penghargaan pada diri sendiri (self-esteem) yang dianggap sebagai substitusi martabat. "Rasa hormat pada diri sendiri" mengimplikasikan, seseorang mengenal takaran-takaran kebaikan, dan menilai harkat dirinya sebagai  manusia  yang  bertumpu  pada  derajat  tentang  sejauh  mana  ia  dijiwai  oleh  takaran-takaran kebaikan dan harkat diri. "Rasa penghargaan pada diri sendiri" secara sederhana berarti, seseorang cukup merasakan  bahwa  dirinya  baik.  Sedang  "martabat"  menunjuk  pada  penguasaan  diri  (self-mastery)  dan determinasi  moral  yang  memungkinkan  seorang  pribadi  memimpin  dirinya  sendiri  di  kala  menghadapi pancaroba  kehidupan dan kedurhakaan orang lain. 

Martabat mempersyaratkan, kita tak pernah merasa dicerca dan kita tak pernah memaksa orang lain untuk bertindak dengan penuh  rasa hormat pada diri kita. Secara  jelas ini mengandaikan, kita tahan banting dan mampu mencegah diri kita mengalami degradasi tatkala dihadapkan pada perilaku orang lain yang  kita  anggap  rendah.    Jika  semua  ini  tidak  kita  capai,  inilah  pratanda  yang  mengabarkan  tentang insubstantialitas watak kita,  kekosongan  jiwa kita, tingkatan martabat kita yang paling terpuruk.  Tak  mungkin  mengalamatkan  persoalan  dominasi,  degradasi,  pengendalian  dan  penindasan negara atas warga-negara tanpa membicarakan tanggungjawab moral atas korban yang dijadikan sasaran. Dominasi,  degradasi,  pengendalian  dan  penindasan  adalah  liar  karena  merupakan  pelanggaran  hak  asasi manusia, sementara hal itu kita biarkan, kita maafkan, kita ijinkan, dan kita anggap sebagai hal yang beres-beres saja. 

Kita  biarkan  bahkan  kita  dorong  semua  itu  karena  kita  tidak  melawan  balik,  sesegera  mungkin kemudian,  tatkala  itu  terjadi  di  mana  pun.  Tindakan  dominasi,  degradasi,  pengendalian  dan  penindasan lantas  kita  anggap  tidak  liar  lantaran  kita  tidak  cukup  memiliki  rumah  penjara,  lantaran  tidak  ada  hakim dan prosedur pengadilan yang tegas, lantaran penegak moralitas kita terjebak ke dalam urusan teknis dan upacara.  Akibat  runyamnya,  utamanya  bagi  degradasi  watak  kita,  sementara  kita  masih  berusaha  tegar menyatakan  diri  sebagai  bangsa  yang  berperasaan  halus  dan  tenggang  rasa,  kita  sedang  menjadi  korban dari self-stereotyping kita.

Proteksi Diri

Bila  diekstrimkan,  kemungkinan  seorang  warga  negara  menjadi  korban  dominasi,  degradasi, pengendalian  dan  penindasan  para  penguasa  lebih  besar  bila  dibandingkan  kemungkinan  ia  menjadi korban  kecelakaan  lalu-lintas.  Di  samping  itu,  kebanyakan  warga  negara  cenderung  percaya,  eksistensi pemerintah telah membuat mereka kehilangan rasa tanggungjawab untuk melindungi diri sendiri.  Padahal,  pemerintah,  dengan  angkatan  bersenjatanya,  sama  sekali  bukan  penjaga  keamanan pribadi.  Mereka  sekadar  petugas  yang  dipreskripsikan  sebagai  pencegah  (baca:  pemadam  kebakaran)  tatkala  terjadi  dominasi,  degradasi,  pengendalian  dan  penindasan.    Tetapi,  apa  mau  dikata,  jika pemerintah,  sebagiamana  rezim  Orba,  dengan  rangkaian  sistem  kekuasaan  yang  dibangunnya  justru menjadi pelaku utama dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan? 

Sedemikian  jauh,  pemerintah    senantiasa  berusaha  tampil  di  depan  publik  secara  sangat  manis. Penguasa menampilkan dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan secara malu-malu meski masih  terbaca dari hegemoni yang tercipta. Kesimpulannya, dengan alasan apa pun tidaklah mungkin bagi warga negara untuk menjaminkan seluruh rasa amannya pada perangkat atau aparat pemerintahan.  Apabila  seorang  warga  negara  menjadi  korban  dominasi,  degradasi,  pengendalian  dan penindasan,  maka  muskil  baginya  untuk  mengharapkan  pertolongan  dari  pihak  pemerintah.  Dapat diperhitungkan,  berapa  kasus  dominasi,  degradasi,  pengendalian  dan  penindasan  yang  dapat  ditangani lewat  jalur  pemerintah.  Oleh  sebab  itu,  gagasan  bahwa  proteksi  merupakan  tenaga  layanan  yang  dapat bergerak pada saatnya sewaktu dibutuhkan. Tanpa menyebut kasus-kasus lain, kasus 27 Juli 1996, kasus kerusuhan sosial tanggal 14 Mei 1998 dengan sangat gamblang menunjukkan hal ini. 

Banyak warga negara berurusan dengan dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan tanpa pandang konteks. Bermacam reaksi muncul berupa keterkejutan, keheranan dan sakit hati tatkala mereka menemukan bahwa bentuk-bentuk dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan tidak berada pada lini  kaidah  hukum,  bahkan  mengabaikan  batasan  imajiner  ini.  Meski  demikian,  jika  dipahami  bahwa dominasi, degradasi, pengendalian dan penindasan dapat terjadi di sembarang waktu dan tempat, pun jika dipahami  bahwa  warga  dapat  terlibas  dan  terpental  dari  kehidupan  --  kondisi  di  mana  nyawa  manusia dianggap tiada berharga -- seharusnya warga negara mau mempertimbangkan untung-ruginya melakukan pengalihan tanggungjawab hidup sendiri pada pihak lain.  Sampai di sini proteksi diri sendiri yang dilakukan oleh dan untuk diri warga negara merupakan keniscayaan. 


0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer