Breaking News
Loading...
Senin, 11 Juli 2011

PENDIDIKAN MORAL: PILAR REFORMASI YANG TERLUPAKAN

18.20
PENDIDIKAN MORAL: PILAR REFORMASI YANG TERLUPAKAN

Masalah-masalah moral yang serius dihadapi oleh bangsa Indonesia antara lain menyangkut persoalan kejujuran, kebenaran, keadilan, penyelewengan, adu domba, fitnah, menipu, mengambil hak orang lain, menjilat dan perbuatan-perbuatan maksiat lain. Mengapa pendidikan moral perlu dikedepankan? Adanya panutan nilai, moral, dan norma dalam diri manusia dan kehidupan akan sangat menentukan totalitas diri individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial, dan kehidupan individu. Oleh karena itu, pendidikan nilai yang mengarah pada pembentukan moral yang sesuai dengan norma-norma kebenaran menjadi sesuatu yang esensial bagi pengembangan manusia utuh dalam konteks sosialnya.   

 Reformasi dalam pelbagai bidang, utamanya yang menyangkut perubahan tatanan hukum, politik, dan ekonomi telah menjadi wacana yang hingga saat ini terus bergulir. Yang umumnya mengemukakan adalah perbincangan yang mengarah pada perlunya perombakan sistem hukum, undang-undang kepartaian, peraturan-peraturan atau perundang-undangan untuk menyelenggarakan pemilu, perangkat hukum untuk mengatur kehidupan ekonomi,  sosial, dan politik, serta gencarnya retorika (bukan realita) pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Meskipun disinggung pula perlunya reformasi dalam sektor pendidikan, namun gagasan itu seperti hilang ditelan hiruk pikuknya parade gagasan reformasi hukum, ekonomi, dan politik. Di sela-sela gencarnya suara reformasi di pelbagai bidang itu sayup-sayup terdengar perlunya reformasi moral, akhlak, dan yang serupa nilai maknanya dengan kata-kata ini. Umumnya, gagasan semacam ini terlontar dari kalangan agamawan, moralis, dan pendidik. Argumen yang dikemukakan antara lain: krisis besar yang melanda bangsa ini sesungguhnya bermuara pada terabaikannya nilai-nilai moral, edukasional, dan keagamaan dalam kehidupan nyata. Para orang tua dinilai gagal memberikan tuntunan nilai kepada anak. Para guru dianggap gagal menanamkan budi pekerti dan hanya menitikberatkan pada aspek pengetahuan. Kaum agamawan dianggap terlampau mengajarkan dogma-dogma yang sulit diterjemahkan dalam perilaku keseharian. Ini mengakibatkan hampir seluruh sendi kehidupan bermasyarakat mengalami penyimpangan karena terkontaminasi oleh cara-cara hidup yang tidak benar di masyarakat yang telah menjadikan penyimpangan sebagai kebiasaan. Krisis besar yang menimpa bangsa Indonesia bisa jadi karena telah membudayanya praktik penyimpangan semacam ini.   

Tulisan ini bertolak dari argumen yang mengemukakan bahwa reformasi moral merupakan suatu keharusan untuk melandasi reformasi pada dimensi apapun, lebih-lebih pada sektor pendidikan. Ini mengingat bahwa jauh sebelum reformasi digulirkan, masalah-masalah moral sudah menjadi persoalan yang banyak menyita perhatian, terutama dari pendidik, alim ulama, pemuka masyarakat, dan orang tua. Meskipun usaha untuk mengatasi masalah moral telah banyak dilakukan, namun hasilnya masih belum menggembirakan.  

Seperti telah dikemukakan Zakiah Daradjat lebih dua puluh tahun lalu (1977), usaha untuk menanggulangi kemerosotan moral telah banyak dilakukan, baik oleh lembaga keagamaan, pendidikan, sosial, dan instansi pemerintah. Namun kemerosotan moral semakin menjadi-jadi, tidak saja terbatas pada kota besar melainkan juga sampai ke pelosok-pelosok desa terpencil.    Masalah-masalah moral yang serius dihadapi oleh bangsa Indonesia antara lain menyangkut persoalan kejujuran, kebenaran, keadilan, penye-lewengan, adu domba, fitnah, menipu, mengambil hak orang lain, menjilat dan perbuatan-perbuatan maksiat lain. Lihat saja kerusuhan yang secara sporadic susul menyusul di republik ini yang secara gamblang memperlihatkan praktik-praktik penyimpangan moral yang akut.

Apabila tidak ada provokator yang "mengobok-obok" suasana dengan menebarkan benih kerusuhan antarkelompok niscaya tidak akan terjadi permusuhan bernuansa SARA seperti yang terjadi di Ambon. Begitu juga dengan masih mengedepannya masalah tiga serangkai kolusi-korupsi-nepotisme. Jika saja nilai-nilai kejujuran dan nilai-nilai moralitas yang menunjung tinggi penghargaan serta kepedulian pada nasib sesama telah berurat berakar pada diri manusia Indonesia ketiganya tidak akan menjadi masalah besar yang memerlukan penanganan secara nasional. Karena itulah, pendidikan moral untuk menginternalisaikan nilai-nilai kejujuran dan kebenaran perlu mendapat perhatian lebih serius agar bangsa ini dapat terselamatkan dari krisis multidimensional berkepanjangan.   

Esensi  Mengapa pendidikan moral perlu dikedepankan? Adanya panutan nilai, moral, dan norma dalam diri manusia dan kehidupan akan sangat menentukan totalitas diri individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial, dan kehidupan individu. Oleh karena itu, pendidikan nilai yang mengarah pada pembentukan moral yang sesuai dengan norma-norma kebenaran menjadi sesuatu yang esensial bagi pengembangan manusia utuh dalam konteks sosialnya. Ini mengingat bahwa dunia afektif yang ada pada setiap manusia harus selalu dibina secara berkelanjutan, terarah, dan terencana sehubungan dengan sifatnya yang labil dan kontekstual.  Sasaran pendidikan nilai pada umumnya dapat diarahkan untuk :
a)     membina dan menanamkan nilai moral dan norma,
b)     meningkatkan dan memperluas tatanan nilai keyakinan seseorang atau kelompok,
c)      meningkatkan kualitas diri manusia, kelompok atau kehidupan,
d)     menangkal, memperkecil dan meniadakan hal-hal yang negatif,
e)     membina dan mengupayakan terlaksananya dunia yang diharapkan (the expected  world),
f)       melakukan klarifikasi nilai intrinsik dari suatu nilai moral dan norma dan kehidupan secara umum (Kosasih Djahiri, 1992). 

Untuk dapat melakukan pendidikan moral tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah oleh guru saja. Pendidikan moral dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.  Meskipun demikian, umumnya disebut tiga lingkungan yang amat kondusif untuk melaksanakan pendidikan moral, yakni lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, dan lingkungan masyarakat.  

Diantara ketiganya, merujuk pada Dobbert dan Winkler (1985), lingkungan keluarga merupakan faktor dominan yang efektif dan terpenting. Peran keluarga dalam pendidikan nilai adalah mendukung terjadinya proses identifikasi, internalisasi, panutan, dan reproduksi langsung dari nilai-nilai moral yang hendak ditanamkan sebagai pola orientasi dari kehidupan keluarga. Lingkungan keluarga dengan demikian menjadi lahan paling subur untuk menumbuhkembangkan pendidikan moral.   

Secara operasional, yang paling perlu diperhatikan dalam konteks pendidikan moral di lingkungan keluarga adalah penanaman nilai-nilai kejujuran dalam segenap aspek kehidupan keluarga. Contoh sikap dan perilaku yang baik oleh orang tua dalam pergaulan dan kehidupan mereka dapat menjadi teladan bagi anak-anaknya. Di samping itu, pendidikan moral harus dilaksanakan sejak anak masih kecil dengan jalan membiasakan mereka kepada peraturan-peraturan dan sifat-sifat yang baik, serta adil. Sifat-sifat tersebut tidak akan dapat difahami oleh anak-anak, kecuali dengan pengalaman langsung yang dirasakan akibatnya dan dari contoh orang tua dalam kehidupannya sehari-hari. Pendidikan moral yang paling baik sebenarnya terdapat dalam agama, karena nilai-nilai moral yang dapat dipatuhi dengan kesadaran sendiri tanpa ada paksaan dari luar, datangnya dari keyakinan beragama yang harus ditanamkan sejak kecil.  

Lingkungan pendidikan juga menjadi wahana yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan mental serta moral anak didik. Untuk itu, sekolah diharapkan dapat berfungsi sebagai kawasan yang sejuk untuk melakukan sosialisasi bagi anak-anak dalam pengembangan mental, moral sosial dan segala aspek kepribadiannya. Pelaksanaannya di kelas hendaknya dipertautkan dengan kehidupan yang ada di luar kelas.  

Pilar Reformasi 

Yang menjadi masalah adalah apabila lingkungan di masyarakat telah didominasi oleh praktik-praktik penyimpangan moral itu sendiri. Misalnya, masyarakat telah terbiasa mengeluarkan biaya pembuatan KTP, SIM, dan semacamnya lebih besar dari biaya yang seharusnya dibayar. Komentar-komentar atau penjelasan-penjelasan tokoh panutan masyarakat yang simpang siur dan menomorduakan nilai kejujuran bagaimanapun memberikan "pelajaran moral" yang tidak baik bagi masyarakat. 

Akibatnya, terjadi kesenjangan antara pendidikan moral yang ditanamkan dalam lingkungan keluarga dan lingkungan pendidikan dengan praktik aktual yang terjadi di masyarakat. Lebih buruk lagi apabila ketiga lingkungan ini telah terkontaminasi satu sama lain. Terciptalah kondisi anomali yang menjadi muara dari segala krisis seperti yang saat ini mendera bangsa Indonesia.   

Bertolak dari kondisi itu seharusnya makin menggugah kesadaran kita betapa pentingnya pendidikan moral bagi anak-anak dan betapa bahayanya mengabaikan pendidikan moral. Untuk itu, pendidikan moral perlu diarahkan menuju upaya-upaya terencana untuk menjamin moral anak-anak yang diharapkan menjadi warga negara yang cinta akan bangsa dan tanah airnya, dapat menciptakan dan memelihara ketenteraman dan kerukunan masyarakat dan bangsa di kemudian hari. Jalan panjang yang terutama harus ditempuh adalah memberdayakan pendidikan moral secara intensif di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. 

Pendidikan moral dalam ketiga kawasan strategis ini harus diperhitungkan sebagai pilar penentu keberhasilan reformasi dalam pelbagai dimensi kehidupan. Dalam konteks ini, pendidikan moral menghendaki lahirnya generasi muda yang memiliki sejumlah bekal nilai baku yang positif sebagai landasan dan barometer kehidupan, serta lebih jauh lagi sebagai generasi penerus dan generasi reformis. Reformasi dalam bidang apapun harus dipandu oleh nilai-nilai moral yang menjadi tuntunan hidup bersama dalam masyarakat. Ini mengisyaratkan bahwa perubahan melalui reformasi dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan, maupun bidang-bidang lain tidak akan dapat terselenggara tanpa perbaikan mental dan moral terlebih dahulu. Untuk itulah, pendidikan moral harus diperhitungkan sebagai landasan titik tolak dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer