Breaking News
Loading...
Senin, 11 Juli 2011

Multikulturalisme-Bhinneka Tunggal Ika sebagai Wahana Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia

18.30

Multikulturalisme-Bhinneka Tunggal Ika dalam Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana  Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia

Pendahuluan

Bhinneka Tunggal Ika yang secara harfiah diartikan sebagai bercerai beraitetapi satu merupakan ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural, dansosial-kultural dibangun di atas keanekaragaman.(etnis, bahasa, budaya, dll). Secaraakademis, konsep bhinneka tunggal ika tersebut dapat dipahami dalam konteks  konsepgenerik multiculturalism atau multikulturalisme. Dalam konteks itu, komitmen final tentang NKRI, Pembukaan UUD 1945 yang diterima secara konsisten dengan Pancasiladi dalamnya, wawasan Nusantara yang mempersatukan wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke serta pengakuan kebudayaan Indonesia yang merajut puncak-puncak budaya dari semua etnis yang ada di Indonesia, merupakan indikasi yang kuat bahwa Indonesia tidak menganut konsep American’s melting pot, atau Australia’s ethnic selection, atau Malaysia’s three ethnicity coexistence, atau Argentina’s social-cultrural assortment tetapi merupakan eclectic model dari Canada’s cultural mosaic dengan konsepsi Bhinneka Tunggal Ika Mpu Tantular.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang secara konstitusional dan secara politik-ideologik diterima sebagai bentuk final sistem kenegaraaan Indonesia, memang oleh para founding fathers dikonsepsikan dan dibangun sebagai multicultural nation-state dalam konteks negara-kebangsaan Indonesia modern, bukan sebagai monocultural nation-state. Hal itu dapat dicermati dari  dinamika praksis kehidupan bernegara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai saat ini dengan mengacu pada konstitusi yang pernah dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, dan UUDS 1950, serta praksis kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang menjadi dampak langsung dan dampak pengiring dari berlakunya setiap konstitusi serta dampak perkembangan internasional pada setiap zamannya.

Namun demikian, dalam praksis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia selalu dijumpai fenomena sosiologik dan politik yang mencerminkan terjadinya paradoks antara semangat dan komitmen kolektif ber-NKRI dengan kasus-kasus etnosentrisme, fanatisme kelompok, kedaerahan seperti sukuisme, kolusi, nepotisme, dan putra daerahisme dalam pemilihan pimpinan daerah. Oleh karena itu, dirasakan perlunya untuk kembali membangun pengertian dan komitmen bersama sebagai komponen bangsa dan warga negara Indonesia  mengenai  persatuan dalam keberagaman dan keberagaman untuk kesatuan, Indonesia. Tujuan penulisan ini dimaskudkan untuk mengangkat kembali dinamika ide, instrumentasi, dan pengalaman tentang pendidikan bagi individu sebagai anggota masyarakat, anak bangsa, dan warga negara agar mampu hidup rukun dan harmonis dalam masyarakat Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Untuk itu, diharapkan terjadi diskursus akademis tentang konsepsi generic pendidikan bagi warga negara agar mampu hidup rukun dan harmonis dalam masyarakat Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Secara keilmuan pembahasan tersebut perlu diletakkan dalam konteks pendidikan kewarganegaran secara sistemik dalam rangka perwujudan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.  Dalam Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, secara imperatif digariskan bahwa "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab". Idealisme  pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjadikan manusia sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.  Secara filosofis, sosio-politis dan psikopedagogis, idealisme tersebut merupakan misi suci (mission sacre) dari pendidikan kewarganegaraan. 

Konsep Bhinneka Tunggal Ika dalam Konteks Wacana Multikulturalisme

Bhinneka Tunggal Ika seperti kita pahami sebagai motto Negara, yang diangkat dari penggalan kakawin Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada zaman Keprabonan Majapahit (abad 14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu atau Although in pieces yet One. (Wikipedia). Motto ini digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural, dan sosial-kultural dibangun di atas keanekaragaman. (etnis, bahasa, budaya, dll). Jika dikaji secara akademis, bhinneka tunggal ika tersebut dapat dipahami dalam konteks  konsep generik multiculturalism atau multikulturalisme. 

Secara historis kontemporer dalam masyarakat Barat, (Wikipedia) multikulturalisme setidaknya menunjuk pada tigal hal. Pertama, sebagai bagian dari pragmatism movement pada akhir abad ke 19 di Eropa dan Amerika Serikat. Kedua, sebagai political and cultural pluralism pada abad ke 20 yang merupakan bentuk respon terhadap imperialisme Eropa di Afrika dan imigrasi besar-besaran orang Eropa ke Amerika Serikat dan Amerika Latin. Ketiga, sebagai official national policy yang dilakukan di Canada pada 1971 dan Australia tahun 1973 dan berikutnya di beberapa Negara Eropa. Secara konseptual tampaknya dinamika pemikiran tentang multikulturalisme tersebut merupakan pergumulan antara pilihan menjadi monocultural nation-state yang didasarkan pada prinsip …each nation is entitled to its own souvereign state and to engender, protect and preserve its own unique culture and history, atau menjadi multilingual and multi-ethnic empires yang dianggap sangat opresif, seperti Austro-Hungarian Empire dan Ottoman Empires. Namun demikian, dalam praksis kehidupan kenegaraaan yang berbasis pemikiran monoculturalism ternyata ideology nation-state dengan prinsip unity of disscent, unity of culture, unity of language and often unity of religion tidak mudah diwujudkan. Oleh karena itu, dalam kondisi tidak dicapainya cultural unity, karena dalam kenyataannya justeru memiliki cultural diversity, Negara melakukan berbagai kebijakan, yang salah satunya yang paling umum adalah melakukan compulsory primary education dalam satu bahasa. Walaupun demikian, hal tersebut potensial menimbulkan cultural conflict sebagai akibat dari pengabaian terhadap bahasa lokal/daerah.

Menarik untuk dicermati bagaimana modus kebijakan multikulturalisme yang ada selama ini.
1)     Model Amerika Serikat yang memiliki kebijakan multikulturalime yang dikenal the Melting Pot’ ideal, yang pada dasarnya bahwa immigrant cultures are mixed and amalgamated without state intervention. Setiap individu imigran diharapkan mampu berasimilasi ke dalam kondisi masyarakat Amerikan menurut kecepatannya dalam beradaptasi.  Pemikiran tentang melting pot ini dirancang untuk bergandengan secara harmonis dengan konsep Amerika sebagai suatu national unity.
2)     Model Australia, dengan multikulturalisme yang dikonsepsikan dalam format ethnic selection, di mana masyarakat Australia yang sebelum datanganya immigrant Eropa secara besar-besaran, sesungguhnya memiliki bayak indigenous cultures (aborigin) atau kebudayaan asli untuk diarahkan menjadi masyarakat Australia yang mencerminkan the British ethno-cultural identity.
3)     Di lain pihak Canada menggunakan kebijakan multilkulturalisme dalam bentuk pembangunan national unity melalui konsepsi pluralistic and particularist multiculturalism yang kemudian dikenal sebagai Canada’s cultural mosaic yang pada dasarnya memandang bahwa setiap budaya atau sub-budaya  di dalam masyarakar Canada memberikan kontribusi keunikan dan nilai luhur terhadap keseluruhan kebudayaan dengan prinsip preserving the distinctions between cultures.
4)     Model Argentina yang menerapkan kebijakan multikulturalisme untuk mengakomodasikan budaya immigrant dengan prinsip multikulturalisme sebagai cerminan dari social assortment of Argentine culture dengan menerapkan individual’s multiple citizenship.
5)     Model Malaysia, yang menerap kebijakan multikulturalisme  dengan prinsip coexistence between the three ethnicities (Malays, Chinese, and Indian) dengan jaminan konstitusional …that immigrant groups are granted citizenship, and Malays’ special rights are guranted, yang kemudian dikenal dengan Bumiputera policy.

Bagaimana halnya dengan konsep dan kebijakan multikulturalisme Bhinneka Tunggal Ika -Indonesia?

Sebagaimana telah dikemukakan pada pendahuluan, bahwa Indonesia  dikonsepsikan dan dibangun sebagai multicultural nation-state dalam konteks negara-kebangsaan Indonesia modern. Dengan kata lain, Indonesia tidak dimaksudkan untuk dibangun dan dikembangkan sebagai monocultural nation-state. Hal itu dapat dicermati dari  dinamika konstitusional dan praksis kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai saat ini.  yang mengacu pada konstitusi yang pernah dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950. Demikian pula dalam instrumentasi dan praksis kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat yang menjadi dampak langsung dan dampak pengiring dari berlakunya setiap konstitusi, serta dampak perkembangan internasional pada setiap zamannya.

Dalam konteks keseluruhan perkembangan kehidupan tersebut tampak jelas bahwa cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi dalam kehidupan ber-NKRI, secara substantif dan prosedural menghargai persamaan dalam perbedaan dan persatuan dalam keberagaman, secara formal konstitusional dianut oleh ketiga konstitusi tersebut. Dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat beberapa kata kunci yang mencerminkan cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi, yakni “…mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur” (alinea 2); “…maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya" (alinea 3); "...maka disusunlah Kemerdekaan, Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada ….dst…kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, ..”(alinea 4),.

Kemudian dalam Mukadimah Konstitusi RIS, “Maka demi ini kami menyusunkemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara yang berbentuk republik-federasi, berdasarkan …dst…kerakyatan…” (alinea 3); “….Negara-hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna”. Selanjutnya, dalam Mukadimah UUDS RI 1950, “…dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia …dst… yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. (alinea2); “…yang berbentuk republik-kesatuan, berdasarkan ..dst…kerakyatan…dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia merdeka yang berdaulat sempurna" (alinea 4). Kata rakyat yang selalu disebut dalam  konstitusi tersebut pasti menunjuk pada masyarakat Indonesia yang multikultural dengan seloka bhinneka tunggal ika.

Pada tataran ideal semua konstitusi tersebut sungguh-sungguh menganut faham demokrasi dalam dan untuk masyarakat yang bersifat multikultural-bhinneka tunggal ika. Hal ini mengandung arti bahwa sejak awal berdirinya Negara Republik Indonesia tahun 1945 sampai saat ini faham demokrasi konstitusional merupakan landasan dan orientasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia yang bersifat multikultural-bhinneka tunggal ika.  Untuk mewadahi multikulturalisme yang ada secara instrumental dalam ketiga konstitusi tersebut juga telah digariskan adanya sejumlah perangkat demokrasi seperti lembaga perwakilan rakyat, pemilihan umum yang bersifat umum, langsung, bebas dan rahasia untuk mengisi lembaga perwakilan rakyat; partisipasi politik rakyat melalui partai politik; kepemimpinan nasional dengan sistem presidentil  atau parlementer, perlindungan terhadap hak azasi manusia; sistem desentralisasi dalam wadah negara kesatuan (UUD 1945 dan UUDS 50) atau sistem negara federal (KRIS 49); pembagian kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; orientasi pada keadilan dan kesejahteraan rakyat; dan demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa .

Namun demikian, pada tataran praksis masih terjadi pertarungan antara nilai-nilai ideal, nilai instrumental, dengan konteks alam, politik , ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan agama serta kualitas psiko-sosial para penyelenggara negara.  Memang harus diakui bahwa proses demokratisasi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang bersifat multikultural itu sampai saat ini masih belum mencapai tarap yang membanggakan dan membahagiakan. Misalnya, kita masih menyaksikan berkembangnya fenomena kasuistis dari etnosentrisme dan primordialisme lain yang menyertai desentralisasi dan otonomi daerah, yang diwarnai konflik horizontal antar suku, agama, ras dan golongan yang terjadi di berbagai penjuru tanah air, terutama pada saat terjadinya proses politik pemilihan umum.

Sudah banyak wacana tentang model demokrasi yang cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang ber-“Bhinneka Tunggal Ika” dengan liku-liku pengalaman historis, serta perkembangan ekonomi, serta interaksinya dengan kecenderungan globalisasai semakin banyak dikembangkan. Diantara berbagai wacana yang menonjol adalah proses demokrasi yang dikaitkan dengan konsep masyarakat madani, yang secara substantif menghargai multikulturalisme. Untuk mewujudkannya diperlukan penghayatan yang utuh dan pengalaman yang tulus serta  dukungan prasaran sosial budaya antara lain;
1)           Konsep masyarakat madani dalam konteks negara kesejahteraan melalui pergeseran peran pemerintah dari “government” manjadi “governance”;
2)           Masyarakat madani yang bermoral yang dicerminkan dalam kedaulatan rakyat yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia;
3)           Kaitan antara peran penting dari ummat Islam dan pembangunan masyarakat madani;
4)           Persoalan dilematis dalam pembangunan masyarakat madani menyangkut keterkaitan ilmu pengetahuan, moralitas, jaminan hukum dan persamaan hak;
5)           Kaitan masyarakat madani dengan nilai Jawa yang dinilai kurang mendukung karena kurang memperhatikan kekuatan ilmu pengetahuan, moralitas, tatan hukum, dan persamaan;
6)           Kegalauan mengenai kemunculan masyarakat madani sebagai hal menjanjikan atau yang menyuramkan sebagai akibat dari peranan negara di masa lalu yang sangat dominant;
7)           Pesimisme perwujudan masyarakat madani sebagai akibat dari kecenderungan menguatnya komunalisme dan melemahnya kepercayaan terhadap negara;
8)           Peran masyarakat akademis sebagai bagian dari masyarakat madani;
9)           Kaitan masyarakat madani dengan prinsip subsidiaritas  dengan cara mengurangi peran negara dan memberikannya kepada organisasi masyarakat secara bertanggung jawab;
10)       Kaitan etika pluralisme dan konstitusi masyarakat madani yang memungkinkan masyarakat yang heterogin membangun kehidupan bersama yang damai;
11)       Tentang paradoksal penguatan birokrasi dalam gerakan menuju masyarakat madani; konsepsi pembangunan masyarakat madani yang profetis yang secara historis tercermin dalam masyarakat Madinah pada masa Rasullullah;
12)       Perlunya pemerintahan professional dalam membangun kultur pemerintahan yang demokratis. 

Wacana tersebut menunjukkan bahwa komitmen terhadap upaya peningkatan kualitas kehidupan demokrasi dalam konteks multikulturalisme di Indonesia sedang mengalami tahap yang memuncak. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa pada masa yang akan datang  instrumentasi dan praksis berkehidupan demokrasi di Indonesia akan mengalami penyempurnaan yang terus menerus sejalan dengan dengan dinamika partisipasi seluruh warganegara  sesuai dengan kedudukan dan perannya dalam masyarakat. Dalam konteks multikulturalisme, hal itu menujukkan bahwa konsep final tentang NKRI, Pembukaan UUD 1945 yang diterima secara konsisten dengan Pancasila di dalamnya, wawasan Nusantara yang mempersatukan wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke, serta pengakuan kebudayaan Indonesia yang merajut puncak-puncak budaya dari semua etnis yang ada di Indonesia, merupakan indikasi yang kuat bahwa Indonesia tidak menganut konsep American’s melting pot, atau Australia’s ethnic selection, atau Malaysia’s three ethnicity coexistence, atau Argentina’s social-cultrural assortment tetapi lebih mendekati pada konsep eclectic model dari Canada’s cultural mosaic dengan konsepsi Bhinneka Tunggal Ika Mpu Tantular.

Makna Sosio-kultural dan Sosio-pedagogis Pembangunan Watak dan Peradaban Bangsa

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar pendidikan nasional mengandung beberapa makna. Secara filosofik sistem pendidikan nasional merupakan keniscayaan dari sistem nilai yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, bahwa sistem pendidikan nasional bertolak dari dan bermuara pada konsepsi sistemik kehidupan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam  permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sementrara itu, secara sosio-politik, manusia dewasa Indonesia yang ”beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab" itu harus menjadi individu anggota masyarakat, individu anak bangsa, dan individu warga negara yang secara kolektif-nasional mau dan mampu membangun watak dan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat.  Pada sisi lain secara substantif-edukatif sistem pendidikan nasional harus ditujukan untuk menghasilkan manusia dewasa Indonesia yang ”beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab", sebagaimana digariskan sebagai tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, secara praxis-pedagogis dan andragogis, sistem nilai yang terkandung dalam Pancasila itu harus diwujudkan sebagai proses belajar anak dan orang dewasa sepanjang hayat melalui proses belajar yang bersifat konsentris tentang Pancasila (knowing Pancasila), belajar melalui proses yang mencerminkan jiwa dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila (doing Pancasila), dan belajar untuk membangun tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang religius, beradab, bersatu, demokratis, dan berkeadilan (building Pancasila).

Selanjutnya, bagaimana interrelasi antara Pancasila dan pendidikan Pancasila?  Sebagaimana telah dipahami bersama, Pancasila sebagai ”sari budaya bangsa, sebagai nilai pandangan hidup bangsa (filsafat hidup, Weltanschauung) yang benar, sempurna,bahkan unggul” (Noor Syam, 2006: 1) pada dasarnya merupakan substansi pendidikan yang perlu dipahami, kerangka sistemik-praksis pendidikan yang seyogyanya diwujudkan, dan idealisasi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara indonesia yang seyogyanya digapai. 

Dalam konteks  itu, pendidikan Pancasila, dalam arti pendidikan untuk berkehidupan yang sesuai dengan dan bermuara pada nilai-nilai Pancasila, merupakan konsep pendidikan yang bersifat multifaset atau bersegi jamak. Pada tataran mikro kurikuler, pendidikan Pancasila dapat diartikan sebagai pembelajaran tentang Pancasila.

Misi utama pada tataran ini adalah untuk menghasilkan manusia dewasa Indonesia yang memahami esensi dan makna serta menerapkannya dalam kehidupannya. Pada tataran proses-sistemik pendidikan Pancasila dapat diartikan sebagai interaksi antara peserta didik dalam latar pendidikan formal dan nonformal, dan antara anggota masyarakat dalam latar pendidikan informal, dengan seluruh sumber inspirasi dan informasi yang memungkinkan setiap orang baik secara individual maupun kolektif mampu mewujudkan esensi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pada tataran makro-sistemik-futuristik, pendidikan Pancasila dapat diartikan sebagai proses idealisasi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, pendidikan Pancasila tidak cukup bila hanya diartikan sebagai mata pelajaran atau mata kuliah dalam rangka learning to know. Lebih dari itu pendidikan Pancasila merupakan proses pendidikan untuk berbuat baik dalam konteks masing-masing atau learning to do, serta sebagai proses hidup dan berkehidupan bersama  atau learning to be and learning to live together, hari ini dan hari esok. Yang perlu menjadi komitmen kita adalah bahwa pada ketiga tataran tersebut, terdapat benang merah yang menjadi integrating forces (Alisyahbana dalam Winataputra, 2001) yakni sistem nilai Pancasila. Oleh karena itu, secara konseptual-epistemologis, pendidikan Pancasila dapat dilihat sebagai suatu integrated knowledge system (Hartonian,1996, Winataputra:2001) yang memiliki misi menumbuhkan potensi peserta didik agar memiliki "civic intelligence" dan "civic participation" serta "civic responsibility" sebagai warga negara Indonesia dalam konteks watak dan peradaban bangsa Indonesia yang ber-Pancasila (Winataputra, 2001, 2006)

Pendidikan Multikultural-nilai-nilai Pancasila sebagai Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan

Apakah makna pendidikan Pancasila dalam pembangunan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam konteks multikulturalisme Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, pendidikan Pancasila perlu dilihat dalam tiga tataran, yakni: pendidikan Pancasila sebagai kemasan kurikuler (mata pelajaran atau mata kuliah), sebagai proses pendidikan (praksis pembelajaran), dan sebagai upaya sistemik membangun kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan (proses nation’s character building).

Kemasan kurikuler pendidikan Pancasila secara historis-kurikuler telah mengalami pasang surut (Winataputra, 2001). Mengacu pada kurikulum sekolah sudah dikenal, mulai dari Civics tahun 1962, Pendidikan Kewargaan Negara dan Kewargaan Negara  tahun 1968, Pendidikan Moral Pancasila tahun 1975, Pendidikan Pencasila dan Kewarganegaraan  tahun 1994, dan  Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003.

Sementara itu di perguruan tinggi sudah dikenal Pancasila dan Kewiraan Nasional  tahun 1960-an, Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewiraan  tahun 1985, dan Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003. Untuk Indonesia pada saat ini, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, yakni dalam Pasal 37 menggariskan program kurikuler pendidikan kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta pendidikan tinggi. 

Semua proses pendidikan pada akhirnya harus menghasilkan perubahan prilaku yang lebih matang secara psikologis dan sosiokultural. Karena itu inti dari pendidikan, termasuk pendidikan Pancasila adalah belajar atau learning. Dalam konteks pendidikan formal dan nonformal, proses belajar merupakan misi utama darai proses pembelajaran atau instruction. Secara normatif, dalam Pasal 1 angka 20 UU No. 20/ 2003 tentang Sisdiknas, dirumuskan bahwa ”Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Satuan pendidikan (SD/MI,SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, sekolah tinggi, institut, dan universitas) merupakan suatu lingkungan belajar pendidikan formal yang terorganisasikan mengikuti legal framework yang ada. Oleh karena itu proses belajar dan pembelajaran harus diartikan sebagai proses interaksi sosiokultural-edukatif dalam konteks satuan pendidikan, bukan hanya dibatasi pada konteks klasikal mata pelajaran atau mata kuliah. 

Dalam kontes itu, maka pendidikan Pancasila dalam pengertian generik, harus diwujudkan dalam keseluruhan proses pembelajaran, bukan hanya dalam pembelajaran mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan Kajian Pancasila. Oleh karena itu, konsep pembudayaan Pancasila yang menjadi tema sandingan pendidikan Pancasila, menjadi sangat relevan dalam upaya menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai ingredient pembangunan watak dan peradaban Indonesia yang bermartabat dalam konteks multikulturalisme Indonesia. Dalam konteks itu maka satuan pendidikan seyogyanya dikembangkan sebagai satuan sosiokultural-edukatif yang mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan satuan pendidikan yang membudayakan dan mencerdaskan. 

Untuk itu, perlu dikembangkan budaya kewarganegaraan indonesia yang multikultural, yang berintikan “civic virtue” atau kebajikan atau akhlak kewarganegaraan. Kabajuikan itu sepenuhnya harus terpancar dari nilai-nilai Pancasila yang secara substantif mencakup keterlibatan aktif warganegara, hubungan kesejajaran/egaliter, saling percaya dan toleran, kehidupan yang kooperatif, solidaritas, dan semangat kemasyarakatan multikultural. Semua unsur akhlak kewarganegaraan itu diyakini akan saling memupuk dengan kehidupan “civic community” atau “civil society” atau masyarakat  madani untuk Indonesia yang berdasarkan Pancasila.  Dengan kata lain, tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani-Pancasila bersifat interaktif dengan tumbuh dan berkembangnya akhlak kewarganegaraan (civic virtue) yang merupakan unsur utama dari budaya kewarganegaraan  yang ber-Pancasila (civic culture). Oleh karena itu, diperlukan adanya dan berperannya pendidikan Pancasila yang menghasilkan demokrasi konstitusional yang mampu mengembangkan akhlak kewarganegaraan-Pancasilais. Dalam waktu bersamaan proses pendidikan tersebut harus mampu memberi kontribusi terhadap berkembangnya multikulturalime Pacasila yang menjadi inti dari masyarakat madani-Pancasila yang demokratis. Inilah tantangan konseptual dan operasional bagi pendidikan Pancasila untuk membangun demokrasi konstitusional di  Indonesia.

Masyarakat madani-Pancasila yang bersifat multicultural-bhinneka tunggal ika pada dasarnya  merupakan “civic community” atau “civil society” yang antara lain ditandai oleh berkembangnya peran organisasi kemasyarakatan dan kewarganegaraan di luar organisasi kenegaraan yang beraneka ragam untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial sesuai Pancasila.  Secara sosiologik-ideologik hal itu perlu dipatri oleh kualitas pribadi “…true belief and sacrifice for God, respect for human rights, enforcement of rule of law, extension participation of citizens in public decision making at various levels, and implementation of the new form of civic education to develop smart and good citizens”.(Sudarsono,1999:2). Maksudnya adalah bahwa dalam kehidupan masyarakat madani tersebut harus terwujudkan kualitas pribadi yang ditandai oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap hak azasi manusia, perwujudan negara hukum, partisipasi warganegara yang luas dalam  pengambilan kebijakan publik dalam berbagai tingkatan, dan pelaksanaan paradigma baru pendidikan kewarganegaraan untuk mengembangkan warganegara (Indonesia) yang cerdas dan baik. Hal tersebut dikandung maksud adanya tantangan bagi pendidikan demokrasi konstitusional di Indonesia adalah bersistemnya pendidikan Pancasila dengan  keseluruhan upaya pengembangan kualitas warganegara dan kualitas kehidupan multikultural yang ber-Pancasila dan berkonstitusi UUD 1945, dalam masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang ber-bhinneka tunggal ika.

Identitas pribadi warganegara yang bersumber dari civic culture  Indonesia yang multikulturalistik-bhinneka tunggal ika itu perlu dikembangkan melalui pendidikan kewarganegaraan dalam berbagai bentuk dan latar. Elemen civic culture yang paling sentral dan sangat perlu dikembangkan adalah civic virtue. Yang dimaksud dengan civic virtue adalah …the willingness of the citizen to set aside private interests and personal concerns for the sake of the common good (Quigley, dkk,1991:11) atau kemauan dari warganegara untuk menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Civic virtue merupakan domain psikososial individu yang secara substantif memiliki dua unsur, yaitu civic dispositions dan civic committments.  Sebagaimana dirumuskan oleh Quigley,dkk (1991:11) yang dimaksud dengan civic dispositions adalah …those attitudes and habit of mind of the citizen that are conducive to the healthy functioning and common good of the democratic system atau sikap dan kebiasaan berpikir warganegara yang menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan  jaminan kepentingan umum dari sistem demokrasi. Sedangkan civic committments adalah …the freely-given, reasoned committments of the citizen to the fundamental values and  principles of constitusional democracy atau komitmen warganegara yang bernalar  dan diterima dengan sadar  terhadap nilai dan prinsip demokrasi konstitusional.  Kedua unsur  dari civic virtue tersebut diyakini akan mampu menjadikan proses politik berjalan secara efektif untuk memajukan the common good atau kemaslahatan umum dan memberi kontribusi terhadapperwujudan ide fundamental dari system politik termasuk …protection of the rights of the individual” atau pelindungan hak-hak azasi manusia (Quigley, dkk,1991:11) Proses politik yang berjalan dengan efektif untuk memajukann kepentingan umum dan memberi kontribusi berarti terhadap  perwujudan ide fundamental dari sistem politik termasuk di dalamnya  perlindungan terhadap hak-hak individu itu adalah ciri kehidupan politik yang ditopang kuat oleh civic culture.

Secara konseptual civic dispositions meliputi sejumlah karakteristik kepribadian, yakni civility atau keadaban (hormat pada orang lain dan partisipatif dalam kehidupan masyarakat), individual responsibility  atau tanggung jawab individual, self-discipline atau disiplin diri, civic-mindednes atau kepekaan terhadap masalah kewargaan, open-mindedness (terbuka, skeptis, mengenal ambiguitas), compromise (prinsip konflik dan batas-batas kompromi), toleration of diversity atau toleransi atas keberagaman, patience and persistence atau kesabaran dan ketaatan, compassion atau keterharuan , generosity atau kemurahan hati, and loyalty to the nation and its priciples atau kesetiaan pada bangsa dan segala aturannya. (Quigley,dkk,1991:13-14). Kesemua itu, yakni  keadaban yang mencakup penghormatan dan interaksi manusiawi, tanggungjawab individual, disiplin diri, kepedulian terhadap masyarakat, keterbukaan pikiran yang mencakup keterbukaan, skeptisisme, pengenalan terhadap kemenduaan, sikap kompromi yang mencakup  prinsip-prinsip konflik dan batas-batas kompromi, toleransi pada keberagaaman, kesabaran dan keajekan, keharuan, kemurahan hati, dan kesetiaan terhadap bangsa dan segala prinsipnya merupakan karakter intrinsik dari sikap warganegara. Sedangkan civic commitments adalah kesediaan warga negara untuk mengikatkan diri dengan sadar kepada ide dan prinsip serta nilai  fundamental demokrasi konstitusional, dalam hal ini di Amerika, yang meliputi…popular souvereignty, constitutional government, the rule of law, separation of powers, checks and balances, minority rights, civilian control of the military, separation of church and state, power of the purse, federalism, common good, individual rights (life, liberty: personal, political, economic, and the pursuit of happiness), justice, equality (political, legal, social, economic), diversity, truth, and patriotism. (Quigley, dkk,1991:14-16). Kesemua itu adalah kedaulatan rakyat, pemerintahan konstitusional,  prinsip negara hukum, pemisahan kekuasaan, kontrol dan penyeimbangan, hak-hak minoritas,  kontrol masyarakat terhadap meliter, pemisahan negara dan agama, kekuasaan anggaran belanja, federalisme, kepentingan umum, hak-hak individual yang mencakup hak hidup, hak kebebasan (pribadi, politik, ekonomi,dan kebahagiaan), keadilan, persamaan (dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi), kebhinekaan, kebenaran, dan cinta tanah air. Tentu saja tidak semua hal tersebut berlaku untuk Indonesia. 

Pengembangan dimensi civic virtue merupakan landasan bagi pengembangan civic participation yang memang merupakan tujuan akhir dari civic education, atau pendidikan Pancasila untuk Indonesia. Dimensi civic participation  dikembangkan dengan tujuan  untuk  memberikan …the knowledge and skills required to participate effectively;…practical experience in participation designed to foster among students a sense of competence and efficacy dan mengembangkan … an understanding of  the importance of citizen participation (Quigley, dkk, 1991:39), yakni  pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk berperanserta secara efektif dalam masyarakat,  pengalaman berperanserta yang dirancang untuk memperkuat kesadaran berkemampuan dan berprestasi unggul dari siswa, dan mengembangkan pengertian tentang pentingnya peranserta aktif warganegara. Untuk dapat berperan secara aktif tersebut diperlukan   A knowledge of the fundamental concepts, history, contemporary events, issues, and facts related to the matter and the capacity to apply this knowledge to the situation; a disposition to act in accord with the traits of civic characters; and a commitment to the realization of the  fundamental values and principles. (Quigley,dkk,1991:39). Semua hal tersebut di muka menunjuk pada pengetahuan tentang konsep fundamental, sejarah, isu dan peristiwa aktual, dan fakta yang berkaitan dengan subsantsi dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan itu secara kontekstual, dan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan watak dari warganegara. Dalam konteks Indonesia secara keseluruhan harus ditempatkan dalam konteks nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang menghargai komitment kolektif dan semangat ke-Indonesiaan yang multikulturalistik-bhinneka  tunggal ika.

Penutup

Bertolak dari pembahasan dimuka, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut.
1)           Konsep Bhinneka Tunggal Ika yang diangkat dari penggalan kakawin  Sutasoma karya besar Mpu Tantular dan secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu atau Although in pieces yet One, merupakan ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural, dan sosial-kultural dibangun diatas keanekaragaman. (etnis, bahasa, budaya dll). Secara akademis, konsep bhinneka tunggal ika tersebut dapat dipahami dalam konteks  konsep generik multiculturalism atau multikulturalisme. 
2)           Multikulturalisme setidaknya menunjuk pada tigal hal, yakni: (1) sebagai bagian dari pragmatism movement pada akhir abad ke 19 di Eropa dan Amerika Serikat; (2) sebagai political and cultural pluralism pada abad ke 20 sebagai respon terhadap imperialisme Eropa di Afrika dan imigrasi besar-besaran orang Eropa ke Amerika Serikat dan Amerika Latin; dan (3) sebagai official national policy yang dilakukan di Canada pada 1971 dan Australia tahun 1973 dan di beberapa Negara Eropa. 
3)           Secara konseptual multikulturalisme merupakan pergumulan antara pilihan menjadi monocultural nation-state yang didasarkan pada prinsip …each nation is entitled to its own souvereign state and to engender, protect and preserve its own unique culture and history, atau menjadi multilingual and multi-ethnic empires yang dianggap sangat opresif, seperti Austro-Hungarian Empire dan Ottoman Empires. Namun demikian dalam praksis kehidupan kenegaraaan yang berbasis pemikiran monoculturalism ternyata ideologii nation-state dengan prinsip unity of disscent, unity of culture, unity of language and often unity of religion tidak mudah diwujudkan. Dalam kondisi tidak dicapainya cultural unity, karena dalam kenyataannya justeru memiliki cultural diversity, Negara melakukan berbagai kebijakan, yang salah satunya adalah melakukan compulsory primary education dalam satu bahasa, yang sering menimbulkan cultural conflict sebagai akibat dari pengabaian terhadap bahasa lokal/daerah. 
4)           Indonesia dikonsepsikan dan dibangun sebagai multicultural nation-state dalam konteks negara-kebangsaan Indonesia modern, bukan sebagai monocultural nation-state. Hal itu dapat dicermati dari  dinamika praksis kehidupan bernegara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai saat ini dengan mengacu pada konstitusi yang pernah dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950, serta praksis kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang menjadi dampak langsung dan dampak pengiring dari berlakunya setiap konstitusi serta dampak perkembangan internasional pada setiap jamannya itu.
5)           Pada tataran ideal semua konstitusi tersebut sungguh-sungguh menganut paham demokrasi dalam dan untuk masyarakat yang bersifat multikultural, yang mengandung arti bahawa paham demokrasi konstitusional sejak awal berdirinya Negara Republik Indonesia tahun 1945 sampai saat ini merupakan landasan dan orientasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia yang bersifat multikultural. 
6)           Proses demokratisasi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang bersifat multikultural itu sampai saat ini masih belum mencapai tarap yang membanggakan dan membahagiakan, seperti masih berkembangnya fenomena kasuistis dari etnosentrisme dan primordialisme lain yang menyertai desentralisasi dan otonomi daerah, yang diwarnai konflik horizontal antar suku, agama, ras dan golongan ang terjadi di berbagai penjuru tanah air.
7)           Dalam konteks multikulturalisme, komitmen final tentang NKRI, Pembukaan UUD 1945 yang diterima secara konsisten dengan Pancasila di dalamnya, awasan Nusantara yang mempersatukan wilayah Indonesia dari Merauke sampai Sabang, serta pengakuan kebudayaan Indonesia yang merajut puncak-puncak budaya dari emua etnis yang ada di Indonesia, merupakan indikasi yang kuat bahwa Indonesia tidak menganut konsep American’s melting pot, atau Australia’s ethnic selection, atau alaysia’s three ethnicity coexistence, atau Argentina’s social-cultrural assortment  tetapi lebih mendekati pada konsep eclectic model dari Canada’s cultural mosaic dengan konsepsi Bhinneka Tunggal Ika Mpu Tantular.
8)           Pendidikan Pancasila yang berisikan interaksi antara peserta didik dalam latar pendidikan formal dan nonformal, dan antara anggota masyarakat dalam latar pendidikan informal, dengan seluruh sumber inspirasi dan informasi yang memungkinkan setiap orang baik secara individual maupun kolektif mampu mewujudkan esensi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan sebagai proses idealisasi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang multikultural-bhinneka tunggal ika. Yang menjadi integrating forces adalah sistem nilai Pancasila yang baik secara substantive masing-masing silanya maupun  secara sistemik keseluruhan lima silanya sangat menghargai dan mewadahi keberagaman dalam keyakinan, dalam dimensi kemanusiaan, dalam semangat mempersatukan Indonesia, dalam mewujudkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
9)           Pendidikan kewarganegaraan untuk Indonesia, secara filosofik dan substantif-pedagogis/andragogis, merupakan pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan pribadi peserta didik agar menjadi warga negara Indonesia yang religius, berkeadaban, berjiwa persatuan Indonesia, demokratis dan bertanggung jawab, dan berkeadilan, serta mampu hidup secara harmonis dalam konteks multikulturalime-bhinneka tunggal ika.
10)       Perlu dikembangkan budaya kewarganegaraan Indonesia yang multikultural, yang berintikan “civic virtue” atau kebajikan atau akhlak kewarganegaraan. Kabajikan itu sepenuhnya harus terpancar dari nilai-nilai Pancasila yang secara substantif mencakup keterlibatan aktif warganegara, hubungan kesejajaran/egaliter, saling percaya dan toleran, kehidupan yang kooperatif, solidaritas, dan semangat kemasyarakatan multikultural. Semua unsur akhlak kewarganegaraan itu diyakini akan saling memupuk dengan kehidupan “civic community” atau “civil society” atau masyarakat  madani yang multikultural berdasarkan Pancasila.


Pustaka Acuan

·         Noor Syam, M., 2006. Pendidikan dan Pembudayaan Moral Filsafat Pancasila, Jakarta: Panitia Semiloka Pembudayaan Nilai Pancasila, Dit. Dikdas, Ditjen Mandikdasmen.
·         Sudarsono, J., 1999. Fostering Democratic Living : The Roles of Governmental and Community Agencies, Bandung : CICED
·         Winataputra,U.S., 1978. A Pilot Study of The Implementation of The SMA PMP Curriculum in Bandung Area, Sydney: Macquarie University (MA.Thesis).

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer